Fungsi Agama adalah Perubahan
Fungsi utama agama adalah untuk melakukan perubahan.
Salah satu fungsi majelis ilmu dan dzikir adalah untuk melakukan perubahan. Manusia suka dengan perubahan. Orang-orang
penggerak kemajuan dan pendobrak cita-cita besar tidak menyukai kondisi
statis yang menghalangi perubahan, termasuk para pemimpin politik (penguasa) saat ini. Obama sebelum menjadi Presiden AS mengkampanyekan ‘perubahan’. Gagasannya diminati banyak rakyat Amerika, sehingga ia berhasil menjadi Presiden.
Setelah mendekati akhir jabatannya, slogan yang diusung adalah
‘lanjutkan!’ Maksudnya setelah mengalami perubahan, perubahan itu
dilanjutkan terus. Ringkasnya jika ada perubahan perlu dilanjutkan, dan jika tidak ada maka jangan lanjutkan.
Islam adalah agama perubahan. Dalam Al-Quran perubahan diistilahkan dengan ‘ikhraj’ (اخرج), yukhrijuhum minazh zhulumaati ilannuur,[1] mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang benderang. Inilah alasan para Nabi diutus kepada manusia.
Zhulumaat (ظلمات) dalam ayat tersebut adalah jama’ dari zhulmun (ظلم),
menunjukkan kegelapan memiliki banyak sumber. Kegelapan yang banyak itu
berasal dari kemaksiatan, kezhaliman, munkarat, dan lain-lain.
Sedangkan ‘nur’ (نور) atau cahaya itu menggunakan mufrad (kata tunggal), yang menunjukkan sumber cahaya itu satu, yakni Allah SWT.
Fungsi utama agama adalah untuk melakukan perubahan. Jika seseorang beragama pasif yang hanya KTP saja (Islam Pasport), tapi tidak ada perubahan pada dirinya maka ia dinilai tidak beragama.
Perubahan
pertama yang dicapai lewat majelis dzikir dan ilmu adalah pemikiran.
Setiap orang melakukan sesuatu dimulai dari berfikir yang menciptakan niat dan diakhiri dengan aksi. Setiap orang yang bersungguh-sungguh menjalankan agamanya dengan menghadapkan segenap jiwa raganya pasti akan mengalami perubahan.
Seseorang
yang serius menjalankan agamanya tentu mengkaji dan menghayati terus
ajaran yang diyakininya itu melalui media majelis ilmu dan dzikir. Seseorang yang diberikan pencerahan dalam pemikirannya akan berfikir dan
mempertimbangkan apa yang akan diputuskannya dengan teliti. Jika satu
moment majelis yang menciptakan perubahan dirinya begitu berharga maka
tidak akan ia lepaskan tanpa alasan berarti. Sebab, baginya moment
keutamaan hari itu tidak sama dengan hari berikutnya. Ia menyadari
kepastian usia dan kesehatannya esok hari bukan berada dalam
genggamannya. Awal kesadaran pemikiran ini menyebabkan ia begitu
menghargai setiap waktu dan kesempatan. Berbagai alasan dan pertimbangan
nafsu yang menghalanginya untuk meraih keutamaan dan kesempatan untuk
berubah berhasil ia taklukkan.
Ketika pemikirannya berhasil berubah dan mengalahkan berbagai alasan tersebut maka kakinya bisa melangkah dan seluruh anggota tubuhnya bisa bergerak. Bahkan kendaraan, sanak keluarga, sahabat karibnya ikut bergerak turut menyertainya. Semuanya bergerak jika pemikirannya bergerak.
Agama mengubah dan menggerakkan pikiran, dari yang bengkok menjadi lurus. Pribadi-pribadi yang terbelakang berubah menjadi individu yang berpikiran maju ke depan. Para sahabat Nabi sebelumnya hanya
memikirkan pangan, sandang, papan saja. Dan setelah mereka beriman dan
dalam bimbingan Islam, pemikirannya menjadi mendalam dan jauh
jangkauannya hingga alam yang yang abadi.
Manusia
diberi akal untuk berfikir. Inilah yang membedakannya dengan hewan
ternak. Jika sejak kecil hingga hari tuanya hanya berfikir untuk masalah
makan minum saja, maka tak ada beda pola hidupnya dengan hewan ternak.
Padahal manusia diberikan potensi luar biasa, pemikirannya bisa
menjangkau alam yang kekal, jiwanya bisa mengenal Allah.
Islam
mengubah pola pikir manusia yang hanya memikirkan dunia fana kepada
kehidupan yang abadi. Seseorang yang telah berubah akan berfikir
menerawang jauh ke depan hingga memikirkan bagaimana nasibnya nanti di
akhirat, apakah ia selamat atau celaka, mendapat ridha Allah atau tidak.
Agama
melakukan fungsi perubahan individu hingga kepada perubahan kolektif
(sosial). Keluarga dan masyarakat akan mendapatkan sentuhan perubahan
kepada arah yang positif. Langkah perubahan ini akan mengalami kendala dari sisi internal dan eksternal. Secara internal kendala perubahan berasal dari faktor kebiasaan pribadi, seperti kemalasan. Kebiasaan buruk ini mesti dilawan dengan kesadaran pribadinya untuk mengubahnya.
Adapun
faktor eksternal, langkah perubahan mengalami tantangan dari individu
maupun kelompok. Pelaku perubahan mesti berani menghadapi tantangan
tersebut. Hal demikian pernah dialami dan dilakukan oleh para Utusan-Nya di setiap masa.
Lq, 20 Des ‘12
[1][1] Q.S. Ibrahim: 1 & 5, Al-Maidah: 16. RA. Kartini mengadopsi ayat ini menjadi semboyan perjuangannya ‘Habis gelap terbitlah terang'