FUNGSI WIRID DAN HIZIB DALAM SASTRA LISAN PESANTREN

blogger templates
(Studi Kasus Wirid Asma’ul Husna dan Hizb Lathif
di Brangsong Kendal)
Muhammad Abdullah
      1. Latar Belakang
        Dalam khazanah tradisi pesantren dikenal apa yang disebut sebagai sastra pesantren. Yakni sastra yang lahir dan berkembang di dalam komunitas pesantren. Ciri-ciri sastra pesantren tersebut adalah (1) lahir dan berkembang setelah sekitar abad ke-19, (2) bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa, bahasa Arab, kadang bercampur bahasa Arab dan Jawa ; (3) tulisan yang dipakai adalah tulisan Arab-Jawa (pegon) dan tulisan Arab; (4) lahir dan berkembang di kawasan pondok pesantren; dan (5) isinya berkisar masalah tauhid, fiqih, ilmu kalam, dan doa-doa (Basuki, 1988; Abdullah 1996; Thohir, 1997). 
           Dalam perkembangannya, sastra pesantren terbagi ke dalam tradisi tulis dan tradisi lisan. Di antara tradisi lisan pesantren itu meliputi naskah-naskah tentang (1) puji-pujian, (2) hagiografi orang-orang suci, (3) Al-Barzanji, (4) wirid, (5) hizb, dan (6) wifiq. Puji-pujian biasanya dibuat berdasarkan sumber tertentu, misalnya Al-Quran, Al-Burdah, atau Syaraful Anam. Hagiografi orang suci adalah cerita orang-orang suci dalam sejarah Islam atau orang-orang suci dari kalangan Sufi, misalnya cerita Sufi Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, yang terkenal dengan sebutan Manakib Syeikh Abdul Qadir Jailani, cerita tentang Syeikh Abu Hasan Asy-Syazali, atau Quaysy Al-Qarni. Dalam tradisi Jawa dikenal teks Wawacan Seh. Barzanji adalah teks tertulis yang biasa dilisankan bersama dalam bulan Rabiaul Awwal, untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW. Ada beberapa macam teks Al-Barzanji dalam sastra pesantren. Di antaranya adalah Kitab Ad-Daiba’i, Syaraful Anam dan Barzanji Nashar.
Salah satu bentuk sastra pesantren yang banyak dikembangkan dalam tradisi persantren adalah tradisi lisannya yang masih banyak dipraktekkan oleh para santri. Pada kenyataannya memang karya sastra lisan lebih besar daripada sastra tulis, terutama pada masyarakat tradisional seperti pesantren (lihat Hutomo, 1991: 3).
           Meskipun dalam banyak kasus, sastra lisan sudah banyak diteliti di antara karya sastra daerah lainnya (lihat Rusyana, 1996 :1), namun tampaknya hal itu tidak berlaku bagi sastra lisan pesantren. Genre sastra lisan pesantren selama ini justru belum banyak diteliti orang. Di antara karya sastra lisan yang jarang diteliti itu adalah tradisi lisan berupa pembacaan Wirid dan Hizib.
 Wirid adalah amalan yang berisi bacaan zikir, doa-doa amalan-amalan lain yang biasa dibaca secara tetap (rutin) setiap hari dalam waktu tertentu. Kegiatan ini dikerjakan setelah salat dengan bimbingan guru, untuk tujuan pendekatan diri kepada Allah SWT atau tujuan tertentu. Kata wirid (jamaknya : awrad) juga berarti “salat-salat sunah” (sebagai tambahan dari salat wajib) yang dilaksanakan oleh orang-orang mukmin yang saleh,[1] atau disebut juga salat nawafil, salat tambahan (Abdullah, 1996: 3).
Dalam tradisi santri amalan wirid terbagi dalam dua macam, yakni (1) bacaan wirid yang bersifat amm, yakni zikir jahri atau zikir yang dibaca dengan formula eksoterik atau dalam bentuk amalan lahir menurut beberapa ukuran tertentu. Misalnya membaca istighfar beberapa ratus kali; (2) bacaan wirid yang yang bersifat khass  yakni zikir sirr, yang dikerjakan secara samar-samar tanpa suara. Dalam khazanah sastra pesantren banyak wirid yang dihafal sebagai baccaan hharian. Namun dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan satu contoh wirid yaitu wirid Asma’ul Husna.
Adapun Hizb adalah amalan yang berisi doa-doa ma’tsurat yang merupakan peninggalan dari nabi SAW dan doa-doa mustajab yang dibaca menurut waktu tertentu, biasanya untuk menghadapi bahaya besar atau untuk menghancurkan musuh yang mengancam, yang dibaca dengan kaifiyah (cara) tertentu.[2]   Memang tidak semua santri mempunyai amalan hizib, karena hizib-hizib itu harus berijazah dari  seorang kyai atau guru mursyid tertentu.
           Ada beberapa macam hizb yang banyak dikenal di lingkungan pesantren, yaitu (1) hizb Nashar karya Imam Abu Hasan Asy-Syazali (2) hizb Nawawi, (3) hizb Bari, (4) hizb Bahri, (5) hizb Bukhari, (6) hizb Ghazali, (7) hizb Durul A’la karya Muhyiddin Ibn ‘Arabi, (8) hizb Zajr karya Imam Tijani, (9) hizb Nashar karya Imam Abdullah bin ‘Alawi Al-Haddad, dan (10) hizb Ikhfa’ karya Imam Abu Hasan Asy-Syazali. Nama-nama hizb ini biasanya diambil dari nama penulis pertama hizb tersebut. Salah satu kumpulan hizb itu adalah Kitab Syawariqul Anwar Min Ad’iyati As-Sadati Al-Ahyar karya Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani. Pembacaan wirid dan hizb itu menjadi tradisi pesantren yang hampir senantiasa mewarnai aktivitas santri dan kyai dalam kehidupan pesantren. Khusus dalam makalah ini hanya akan dibicarakan salah satu hizib terkenal, yaitu  hizib Lathif.
      Tujuan dari penulisan makalah ini adalah hendak mengungkapkan dan mengadakan deskripsi singkat perihal wirid Asma’ul Husna dan Hizib Lathif . Hal ini penting dilakukan mengingat belum banyak peneliti yang membicarakannya.
      
2.  Deskripsi Singkat Wirid Asmaul Husna Dan Hizb Lathif (lafaznya)
2.1 Wirid Asma’ul Husna
                 Wirid Asma’ul Husna adalah wirid yang dibaca santri yang telah mendapatkan ijazah untuk mengamalkannya setiap ba’dal salat maktubah, setelah salat fardhu. Namun jika keberatan, santri dapat membaccanya setiap pagi, setelah salat subuh dan sore hari, setelah salat maghrib.   Khasiat membaca wirid ini adalah di samping untuk pendekatan diri kepada Allah, wirid ini juga disukai anak muda karea dapat menambah percaya diri, dapat menambah “tenaga dalam” untuk yang rutin mengmalkannya, dan untuk menjaga diri, membeli diri apanila mendapat serangan musuh jahat.
  Masyarakat Islam santri yang masih mau menghidupkan tradisi wirid dan hizb ini menurut Clifford Geertz (1983: 168) termasuk kelompok Islam santri pengikut paham Imam Syafei yang berhaluan ahlussunnah waljamaah dalam prinsip keagamaannya. Kelompok Islam inilah yang disebut Deliar Noer (1986: 5) sebagai kelompok Islam tradisional, hal ini karena mmasyyarakat ini masih kental dengan postulat dan symbol tradisioonal yang melekatnya. Misalnya secara organisasi adalah kelompok Islam Nahdlatul Ulama yang berbasis di pondok pesantren.       
     Dalam konteks pemikiran sosial keagamaan paham Islam tradisional ini berbeda dengan pemeluk Islam modernis, seperti Muhammadiyah. Paham Islam modernis yang mementingkan rasionalitas tidak bisa mengamalkan model zikir yang dipraktekkan semacam wirid dan hizib. Begitu pula dalam kehidupan budaya Islam, pengikut Islam tradisional msih mengadopsi paham-paham sinkretis dari paham Jawa (kejawen) dalam ritual keagamaannya. Sedang di kalangan Islam modernis, dengan keras menolak amalan-amalan keagamaan dan budaya Islam yang berbau sinkretis. Bahkan Islam modernis menganggap amalan-amalan seperti wirid, hizib, dan manakib orang suci dianggap bid’ah, karena merupakan ajaran baru.  Ooleh karena itu, praktek amalan wirid dan hizib ini hanya diamalkan ooleh kalangan Islam tradisional dari lingkungan pesanrtren.
                      Suatu penelitian pendahuluan dilakukan penulis di desa Karang Tengah Kecamatan Brangsong Kabupaten Kendal. Di desa ini ada seorang guru yang sering memberi ijazah untuk amalan wirid dan hizib, yang bernama Kyai Abdurrohim. Abdurrohom ini  pada waktu mudanya banyak berguru di Banten dan Cianjur Jawa Barat. Di rumahnya ada padepokan kecil yang dipakai untuk latihan wirid dan latihan bela diri Asma’ul Husna. Banyak santri yang telah berhasil mengamalkan Asma’ul Husna. Di antaranya ada santri yang berhasil menumpas perjudian, memiliki ketahan diri yang baik ketika mengalami kecelakaan lalulintas, menggaet seorang gadis dan lain-lain. [3]
         Bacaan wirid ini dimulai dengan basmallah, dilanjutkan dengan membaca surat al-Fatihah yang dipakai sebagai wasilah (perantara) kepada para gurunya, yaitu :
(1)  Membaca surat Al-Fatihah ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW;
(2)  Pembacaan Al-Fatihah ditujukan kepada empat sahabat Nabi, yaitu sahabat khulafaurrasyidin, sayyidina Abu bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman, dan Sayyidina Ali r.a.;
(3)  Fatihah ditujukan kepada Sultan Aulia, Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani sahibul karomah, fid dunya wal akhirah;
(4)  Untuk Syeikh Ahmad Rifa’I, Syeikh Ahmad badawi, Syeikh Ibrahim Ad-Dasuki;
(5)  Terakhir disampaikan untuk sahibul jurus, Wakil kesatu Pinangeran Pengampun Cianjur.
Selesai pembacaan wasilah tersebut kemudian dilanjutkan dengan membaca wirid Asma’ul Husna, dimulai dengan bacaan Ya Hayyu, Ya ‘Aliyyu, Ya Maliyyu, ya Wafiyyu, YaWaqiyyu, Ya Qawiyyu, Ya Ghaniyyu, Ya Waliyyu, Ya Baqi. Ilaika rasulallah, asku nawaiban minaddahri la yakfilahal mutahammilu, wa inni la yarju innaha bika yanjali, wa innaka li jahun wa hisnun wa ma’qulun, wa asmim wa abqim summa a’mi ‘aduwwana wa akhrishum ya dzaljalali bikhausamat min ay syai’in khalaqahu min nuthfatin khalaqahu faqaddarahu. (dan seterusnya).
      Selesai bacaan asma’ terakhir ditutup permohoonan kepada Allah melalui para gurunya, dengan mengatakan :
Ya Allah Ya Rasulallah, Ya sayyidi Syeikh Muhyidin Abdul Qadir Al-Jailani, ya Wakil kesatu Pinangeran Panagampun Cianjur, kula nyuwun, kula nyuwun dating panjenengan, Panjenengan suwunaken dating Gusti Allah mugiya badan kula dipun isi karomahipun jurus ingkang werni sedasa, ingkang sampun kawula wiridaken. Kaf – Ha – Ya - ‘Ain – Shad, zikru rohmatika ‘abdahu zakariyya, Assalamu’alaikum Ya Rasulallah, Allah”.
2.2 Hizib  Lathif
      Hizib yang banyak diminati oleh para santri adalah hizib lathif. Di samping bacaan hizib ini relatif pendek, sehingga tidak makan banyak waktu, juga karena hizib ini banyak khasiatnya, terutama yang berhubungan dengan kehidupan anak muda, yaitu masalah kekebalan dan pengasihan kepada lain jenis.
        Hizb ini diawali dengan membaca (1) Surat Al-Fatihah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan keturunannya (ahlul bait); (2) Membaca Fatihah untuk sohibul hizib Lathif.
         Dilanjutkan dengan membaca Basmallah dan mantra sbb :
“Bikhafiyyu lutfillahi, bilatifi sun’illahi, bijamili sitrillahi, bi badi’I ‘afwillahi, bisari’I karomillahi bi ighootsati judillahi bi alfi alfi la haula wala quwwata illah billahil ‘aliyyil ;adzim. Dakhaltu fi kanafillahi wa tamasaktu bikitabillahi was tajartu bi rasulillahi sallallahu ‘alaihi wa sallam bi dawami mulkillahi bi baqa’I mulkillahi bi la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim. Biyahin biyahin biyahin, ahyalin ahyalin ahyalin, ahyasin ahyasin ahyasin. Hajabtu nafsi bihijabillahi wa mata’tuha bi ayatillahi wa hasantuha bi ayati wa dzikril hakim bihhaqqi man yuhyil ‘idzooma wahiya romim … dst.”
          Untuk penjaga diri si pelaku, dalam hizb ini dibacakan nama-nama malaikat penjaga diri, yaitu malaikat Jibril ‘an yamini, wa Israfilu ‘an khalfi, wa Mikailu ‘an yasari, wa ‘Izrailu ‘an ‘an fauqi, wa Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam amami, wa ‘asha Musa fi yadi. Fa man ra’ani habani, wa khatama Sulaimana ‘alallisani faman takalmtu ilai qadha hajati, wa nuru Yusufa ‘ala wajhi, fa man ra’ani ahabbani…..dst”.
Khasiat dari hizb ini banyak sekali, di antaranya untuk mengelabuhi musuh, untuk penjaga diri, menambah keberanian menghadapi orang lain, untuk pengasihan, memperlancar penyelesaian problema hidup, memperkuat insting (radar, talenta) seseorang, dan lain-lain.  Jika bermaksud untuk memelet seoorang gadis, maka ketika sampai pada bacaan faman ra’ani ahabbani,  maka bisa diganti dengan  fa ….(nama seseorang yang diingini) ra’ani ahabbani, misalnya  fa Zulaiha ra’ani ahabbani. Maka insya Allah, dengan izin Allah nama seseorang yang disebut-sebut itu akan terkena panah asmaranya.
          Untuk mengamalkan hizb ini pelaku harus menjalani puasa selama satu minggu, dan selama puasa itu pelaku hharus membaca hizb ini sebanyak dua puluh satu kali setiap ba’dal maktubah (setelah shalat fardhu).
3.  Praktek Beladiri dengan Wirid Asma’ul Husna
      Wirid Asma’ Husna dalam sebagian masyarakat Islam santri diamalkan bukan hanya untuk tujuan ibadah mahdhoh dengan memperbanyak berzikir semata-mata. Namun, pada sisi lain, wirid Asma’ul Husna dipakai pula untuk sarana berlatih fisik, yaitu latihan bela diri. Dengan jurus-jurus tertentu para santri melakukan latihan fisik sambil melafazkan kalimat zikir Asma’ul Husna.  Jika zikir Asma’ul Husna yang diwiridkan bakdal maktubah membaca lafaz Asma’ul Husna dari nama-nama Allah yang jumlahnya 99, maka wirid Asma’ul Husna hanya mengambil beberapa nama Allah yang terdapat dalam 99 nama Allah itu. Bacaan  wirid Asma’ul Husna  untuk tujuan bela diri ini hanya mengambil  sembilan lafaz nama Allah, yaitu Ya Hayyu, Ya Ya ‘Aliyyu, ya Maliyyu, Ya Wafiyyu, ya Waqiyyu, ya Qawiyyu, ya  Ghaniyyu,Ya Waliyyu, Ya Baqi.
            Dalam prakteknya, pembacaan Asma’ul Husna itu diawali dengan bacaan surat Al-Fatihah  sebanyak lima kali yang ditujukan untuk para guru yang memberi ijazah wirid tersebut. Pembacaan fatihah itu sebagai wasilah (perantara) dengan keyakinan agar doanya dapat dikabulkan Allah SWT. Setelah membaca wasilah kepada tujuh sembilan guru yang telah menurunkan ijazah wirid itu, maka biasanya sang guru mengajak para santri peserta wirid itu untuk melakukan latihan gerakan jurus I sambil membaca Ya Hayyu, Ya “Aliyyu, Ya Maliyyu, Ya Wafiyyu, Ya Waqiyyu, Ya Qawiyyu, Ya Ghaniyyu, Ya  Waliyyu, Ya Baqi.  Begitu seterusnya bacaan itu diulang-ulang sampai jurus kesepuluh.  Kesepuluh jurus itulah yang selalu dilatih guru agar para santri berlatih sendiri  sesuai kemampuannya. Perlu diketahui bahwa kesepuluh jurus Asma’ul Husna itu gerakannya berbeda-beda, sesuai dengan fungsi masing-masing jurus.
            Sebagai contoh, jurus keempat dilakukan dengan gerakan kedua belah tangan menyapu dari bawah ke atas, dengan tekanan yang kuat. Dikatakan bahwa jurus ini jika dikabulkan Allah SWT, dapat melemparkan atau memporakporandakan puluhan bahkan ratusan musuh sekalipun.  Sedang jurus ketiga itu disebut jurus kulu geni. Diyakini  bahwa jurus ini dapat mematikan musuh dengan cara menggesekkan kedua tanganya kuat-kuat, maka musuh akan terkapar kesakitan tidak tahan menerima hantaman lawan.  Agar menghasilkan gerakan-gerakan yang luwes, maka santri yang mengamalkan wirid Asma’ ini harus berlatih sendiri secara rutin setiap hari. Ibarat pisau jika sering diiasah, maka akan tajam hasilnya. Begitu pula amalan wirid Asma’ul Husna  ini, jika banyak dibaca sesuai waktu yang ditentukan, maka khasiatnya akan tampak lebih baik.
                       
4.    Fungsi Wirid dan Hizib Dalam Tradisi Pesantren di Brangsong Kendal
       Sesungguhnya kegiatan wirid dan hizib di masyarakat kaum santri telah menyatu dengan system peribadatan santri.   Pada awalnya wirid yang dibaca berulang-ulang pagi dan sore hari bertujuan untuk beribadah, berdoa mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya tujuan ibadah tersebut telah disisipi dengan tjjuan-tujuan lain, yaitu untuk dapat dipakai sebagai pembela diri dari serangan musuh yang datang tiba-tiba. Seperti jenis doa-doa yang lain, wirid dan hizib dapat dikerjakan siapa saja. Hanya kalau bacaan doa-doa yang lain bisa diperoleh darim berbagai sumber buku, maka wirid dan hizib kebanyakan harus diperoleh melalui seorang guru. Biasanya yang berhak memberikan ijazah wirid dan hizib itu adalah seorang mursyid tarekat yang dianggap sebagai “guru besar” tarekat.
            Tradisi wirid dan hizib itu banyak dilakukan oleh kalangan paham Islam tradisional dari lingkungan pondok pesantren.  Oleh karena itu, di kalangan paham Islam modernis atau neomodernis tidak dikenal tradisi wirid dan hizib itu. Bahkan boleh jadi praktek amalan wirid dan hizib itu dianggap bid’ah, yang tidak ada tuntunannya dari Nabi SAW.   
                                  Secara singkat dapat disebutkan di antara fungsi wirid Asma’ul Husna  dan Hizib Lathif tersebut sebagai berikut : untuk (1) pendekatan diri pada Allah, (2) untuk pengobatan sakit, (3) menolak bencana, (4) penjaga diri dari serangan musuh, (5) untuk menghancurkan musuh, (6) untuk kekebalan, (7) untuk pengasihan, (8) pembuka pintu rizki, dan lain-lain. Mujarab  atau tidaknya fungsi ini akan sangat tergantung dari sikap dan keyakinan sang pelaku.
                         Dalam sejarah nasional Indonesia, kaum kolonialisme Belanda terkenal sangat takut dengan “kekuatan yang tak tampak” dari para ahli tarekat dan para waliyullah, yang dikenal sebagai “harimau nan sembilan”. Para ahli tarekat yang sangat kuat wirid dan hizbnya itulah yang ditakuti belanda karena memiliki “kekuatan yang tak tampak” itu, yang merupakan “pertolongan Allah”.
                        Sebagai contoh adalah wirid Hadam Tujuh. Wirid Hadam Tujuh  adalah wiridan yang cara pengamalannya harus secara resmi mendapatkan ijazah dari guru atau kyai. Wirid ini diamalkan mulai dengan aktivitas riyadhah, yaitu puasa mutih tujuh hari berturut-turut. Jika keberatan puasa mutih, santri dapat melakukan puasa dengan hanya makan buah-buahan saat berbuka. Selama puasa itu, setiap malamnya santri disuruh membaca wirid yang telah ditentukan jenis dan jumlah bacaannya. Misalnya, di antaranya disuruh membaca surat Al-Fatihah seratus kali setiap hari pada nisfullail (tengah malam). Caranya dimulai pada hari Ahad, sebelum membaca surat al-fatikhah membaca ila hadaratin madzahabin wajunudihi – al-fatikhah (dibaca pada hari Ahad), ila hadatin murrah wajunudihial-fatikhah (dibaca pada hari Senin), ila hadatin ahmar wajunudihi –alfatikhah (dibaca pada hari Selasa), ila hadatin burqon wajunudihi- al-fatikhah (dibaca pada hari Rabu), ila hadaratin Syamhurisy wajunudihi – al-fatikhah (dibaca pada hari Kamis), ila hadaratin zauba’ah wajunudihi –al-fatikhah (dibaca pada hari Jumat), ila hadaratin maimun wajunudihi-al-fatikhah (dibaca pada hari Sabtu). Pada saat membaca wirid tersebut sebaiknya santri memakai pengharum ruangan, misalnya membakar kemenyan Arab atau membakar kayu gaharu agar suasana ruang di sekitar berbau harum dan wangi. Disebut wirid khadam tujuh, karena wirid tersebut jika diamalkan (dibaca) akan mendatangkan khadam (pembantu) tujuh malaikat yang menjaganya. [4]
5.    Penutup
Tradisi pengamalan wirid dan hizb tersebut sesungguhnya merupakan kekayaan dan kekuatan spiritual yang luar biasa yang dimiliki civitas academica pesantren, yang diwariskan oleh kyai (mursyid) kepada santrinya secara turun temurun. Kekayaan dan kekuatan hizb, wirid dan wifiq inilah yang enjadi daya dorong santri jika harus berhadapan dengan masalah duniawi.. Dalam era millenium baru ini warisan budaya pesantren itu rasanya layak diangkat dan dipertimbangkan untuk diteliti untuk tujuan-tujuan ilmiah. Bukan karena khazanah warisan klasik ini belum diteliti secara akademis, namun disebabkan oleh wajah dunia pesantren yang sangat membutuhkan wacana baru untuk membedah kebekuan pemikiran spiritual Islam selama ini.
         Untuk kepentingan “perdukunan” alternatif, model pengamalan wirid hizb, dan wifiq ini sah-sah saja, baik secara sosial maupun secara agama, asal tujuan dan caranya tetap bertumpu pada tali buhul Allah SWT. Insya Allah, jika tawakal hanya kepada-Nya semua penyakit akan dapat disembuhkan, karena Dialah yang memberi penyakit, maka Dia pulalah yang aan menyembuhkannya, faidza marittu fahuwa yasfin. Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
DAFTAR PUSTAKA
           
            Abdullah, Muhammad, 1992. Blantenan :  Kesenian Tradisional Dalam Trasdisi
Pesantren di Kaliwungu Kendal. Semarang : FS Undip.
            __________________1996. “Puji-pujian : Tradisi Lisan Dalam Sastra Pesantren”
                                    Dalam warta ATL.  Jakarta : Jurnal ATL.
            Abdurrahman Asy-Suyuti, Jalaludin, (tanpa tahun) Ar-Rahmah Fi At-Thib Wa Al-
 Hikmah. Beirut.
           
Ahmad, Abul Abbas, bin Ali Al-Buni, (tanpa  th) Mamba’u Ushulul Hikmah.
Al-Ghazali,  th    Al-Munqid Minadzdzalal  
Azam, Abdullah, 1985. Ayatu Ar-Rahman Fi Jihad Al-Akbar. Kuala Lumpur :
               Mathb’ah Kazhim Dubai UEA.
            Basuki, Anhari, 1988. “Sastra Pesantren” dalam Lembaran Sastra.
                                     Semarang : FS Undip.
            Geertz, Clifford, 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta : Pustaka Jaya.
            Hawwa, Said, 1996.  Jalan Ruhani.  Bandung : Mizan.
            Hutomo, Suripan sadi, 1991. Mutiara yang Terlupakan, Pengantar Studi Sastra
 Lisan. Malang : HISKI jawa Timur.
            Noer, Deliar, 1986. Pemikiran Politik Islam Santri. Jakarta : Panjimas.
            Rusyana, Yus, 1996. Tuturan Tentang Pencak Silat dalam Tradisi Lisan Sunda.
                                    Jakarta : Yayasan Obor Indoonesia dan Yayasan ATL
Sutarto, 1998 “Metode Penelitian Tradisi Lisan”, Makalah Seminar Tradisi
                                      Lisan II, FS UI Depok.
            Teeuw, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan.
Jakarta : Pustaka Jaya.
Tim IAIN, 1993. Ensiklopedi Islam.  Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Thohir, Mudjahirin dkk. 1997. Inventarisasi Sastra Pesantren di Kaliwungu Kendal. Semarang : Laporan Hasil Penelitian LEMLIT Undip.