Mencium Tangan Orang Yang Dihormati
Ibnu Jad‘an meriwayatkan bahwa Tsabit bertanya kepada Anas, “Apakah engkau pernah memegang Nabi SAW dengan tanganmu?”
Anas menjawab, “Ya.”
Maka Tsabit pun mencium tangannya.
Di dalam kitab Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, disebutkan bahwa Abu Lubabah, Ka‘ab bin Malik, dan dua orang sahabat Ka‘ab mencium tangan Nabi SAW setelah Allah menerima taubat mereka.
Dalam sebuah keterangan, Shuhaib mengatakan, “Aku melihat Ali mencium tangan dan kaki Al-Abbas.” Demikian disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Ibnu Katsir dalam kitabnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah, dalam keterangan mengenai penaklukan Baitul Maqdis oleh Umar bin Al-Khaththab, mengatakan, “Ketika sampai di Syam, Umar disambut oleh Abu Ubaidah dan para pembesar, seperti Khalid bin Al-Walid. Abu Ubaidah dan Umar berjalan saling mendekat. Abu Ubaidah ingin mencium tangan Umar sedangkan Umar ingin mencium kaki Abu Ubaidah. Abu Ubaidah menolak, maka Umar pun menolak.”
Para tokoh ulama dari berbagai madzhab pun menjelaskan bolehnya mencium tangan. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya, Fath Al-Bari, menyebutkan bahwa Al-Imam An-Nawawi mengatakan, “Mencium tangan seseorang karena kezuhudannya, keshalihannya, ilmunya, kemuliaannya, atau alasan-alasan keagamaan lainnya, adalah sesuatu yang tidak makruh, bahkan disunnahkan. Tetapi jika mencium tangan seseorang karena memandang kekayaannya, kekuasaannya, atau kedudukannya di kalangan ahli dunia, itu perbuatan yang sangat dibenci.”
Al-Allamah Al-Bajuri dalam Hasyiyah-nya mengatakan, “Dan disunnahkan mencium tangan karena alasan keshalihan dan alasan-alasaan keagamaan lainnya, seperti ilmu dan kezuhudan. Tetapi perbuatan mencium tangan itu dibenci apabila karena kekayaan dan alasan-alasan keduniaan yang lain, seperti kekuasaan atau kedudukan.”
Bukan hanya para ulama Madzhab Syafi‘i yang berpendapat demikian. Para ulama dari madzhab-madzhab lain juga menegaskan hal yang sama. Ibnu ‘Abidin, salah seorang pemuka Madzhab Hanafi, mengatakan dalam Hasyiyah-nya, “Tak apa-apa mencium tangan seorang alim yang wara‘ untuk mendapatkan keberkahan, dan ada pula yang mengatakan bahwa itu sunnah.” Al-Allamah Ath-Thahawi, pemuka Madzhab Hanafi, pun mengatakan, “Mencium tangan seorang alim atau sultan yang adil (karena keadilannya, bukan karena kekuasaannya) adalah dibolehkan.” Kemudian ia mengatakan, “Kesimpulan dari apa yang kami sebutkan adalah bahwa mencium tangan itu sesuatu yang dibolehkan.” Az-Zaila‘i dalam kitabnya, Tabyin Al-Haqaiq, mengatakan, “Dalam Al-Jami‘ Ash-Shaghir dikatakan: Asy-Syaikh Al-Imam As-Sarkhasi dan sebagian ulama mutaakhirin membolehkan mencium tangan seorang alim atau seorang yang wara‘ dengan maksud mendapatkan keberkahan.” Sedangkan Ats-Tsauri mengatakan, “Mencium tangan seorang alim atau sultan yang adil adalah sunnah.”
Al-Allamah As-Sifaraini, tokoh ulama Madzhab Hanbali, mengatakan dalam kitabnya, Ghidza’ Al-Albab, bahwa Al-Marwadzi menyebutkan, “Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah (yakni Imam Ahmad bin Hanbal) mengenai mencium tangan. Beliau menjawab, ‘Jika itu dilakukan karena alasan agama, tidak apa-apa. Tetapi bila karena alasan dunia, tidak dibolehkan.”
As-Sifaraini juga mengatakan, “Al-Hafizh Ibn Al-Jauzi menjelaskan, ‘Sepatutnya seorang penuntut ilmu sangat tawadhu’ kepada seorang alim dan merendahkan diri kepadanya, dan di antara ketawadhu’an itu adalah mencium tangan. Sufyan bin Uyainah dan Fudhail bin `Iyadh mencium Al-Husain bin Ali Al-Ja`fi; salah satu dari keduanya mencium tangannya dan yang lain mencium kakinya.”
Dari hadits-hadits dan keterangan-keterangan para ulama di atas dapat disimpulkan, mencium tangan karena alasan-alasan agama adalah dibolehkan, sedangkan mencium tangan karena alasan dunia tidak dibolehkan.