Dianggap Gila
Tanda (indikator) orang gila adalah tidak takut dan malu.
Rasulullah Saw dalam suatu hadits menyebutkan,
إِنَّ الْإسْلَامَ بَدَأَ غَرِيْبًـا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا, فَطُوْبَا لِلْغُرَبَآءِ. قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْغُرَبَآءُ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.{رواه مسلم}
“Sesungguhnya
Islam itu pada mulanya datang dalam keadaan asing dan akan kembali
asing, maka berbahagialah bagi mereka yang dianggap asing itu. Para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah! Siapakah al-Guraba (yakni orang yang dianggap asing) itu? Rasul menjawab: Merekalah yang berbuat baik di kala orang-orang sedang rusak.”
Disebut
asing (aneh) karena melakukan perubahan terhadap tradisi jahiliyyah
yang telah berkembang sejak lama. Kaum jahiliyyah yang mayoritas
bertahan atas keyakinannya itu, alias tidak mau berubah.
Di kemudian hari orang-orang yang menjalankan Islam dengan sesungguhnya akan dianggap
asing kembali. Rasulullah Saw mengapresiasi kemunculan mereka,
‘Beruntunglah mereka yang dianggap asing!’ [Dianggap asing itu bukan
berarti asing sebenarnya]
Dianggap
asingnya ajaran Islam disebabkan sudah banyaknya kezhaliman dan
kemungkaran. Sehingga kejahatan yang dilakukan oleh banyak pelaku
menjadi suatu perbuatan yang biasa saja. Merokok di tempat umum jika
sudah menjadi biasa tidak akan dianggap kesalahan. Padahal telah
menzhalimi diri sendiri dan orang lain. Jika kebanyakan orang berbuat
kejahatan di suatu tempat maka orang yang berbuat kebaikan dianggap
salah. Ini adalah suatu resiko dalam menyampaikan kebenaran.
Para Nabi dan Rasul seperti yang diutarakan dalam Al-Quran disebut sebagai ‘orang gila’ [majnun] oleh kaumnya.[1] Karena
mereka hendak melakukan perubahan di tengah kehidupan yang sudah statis
dan dianggap tidak akan berubah meskipun satu orang. Meskipun
minoritas, tapi mereka tidak takut menyampaikan kebenaran dan berani
‘tampil beda’.
Dalam istilah tasawuf disebut Jununul Uqala’ yakni orang-orang yang berakal (menjalankan agama dengan benar) tapi dianggap tidak waras. Kebanyakan manusia di setiap masa memilih menjadi orang gila tapi dianggap waras. Sedikit yang memilih sebaliknya. Hal demikian terjadi di setiap generasi.
Rasulullah Saw memerintahkan,
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ اللهِ حَتىّ يَقُوْلُوْا مَجْنُوْنَ
“Hendaklah kalian berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya sehingga orang-orang mengatakan gila”. (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, Hakim)
Berdzikir
itu tidak sebatas menyebut. Berdzikir yang komprehensif (menyeluruh)
adalah jiwanya selalu menghadap kepada Allah. Jika jiwa sudah menghadap
kepada Allah, segala pekerjaan akan dijalankan dengan baik. Usahanya
mencari rizki dilakukan dengan cara yang halal walaupun kebanyakan orang
sudah tidak mempedulikan cara mendapatkannya, apakah halal atau haram.
Inilah yang disebut banyak dzikir kepada Allah (dzikron katsiiroo).
Tandanya
adalah banyak latihan dzikir di masjid, mendapatkan dampak psikologis
jiwanya terus menghadap kepada Allah, memilih pekerjaan yang halal, ia
bersikap jujur sementara banyak orang menyuarakan ketidakjujuran, ia
tidak melakukan korupsi ketika banyak orang telah melakukannya.
Resikonya adalah disebut gila.
Jabatan yang tidak naik-naik jika tidak kong kali kong
(menyuap), ditekan bos agar mark-up anggaran, adalah resiko kehidupan.
Semuanya memiliki konssekuensi yang mesti ditanggung. Pilihannya hanya 2
saja, menjadi orang gila dianggap waras atau menjadi orang waras tapi
dianggap gila. Dan kebanyakan manusia memilih menjadi orang gila yang
dianggap waras oleh kebanyakan manusia. Walaakinna aktsaron naasi laa ya’lamuun.[2] Manusia kebanyakan mengikuti aturan yang ada dan tidak mau mengambil resiko.
Agama
bukan sekedar jargon dan platform. Agama adalah pengusung perubahan
mikro dan makro. Perubahan sikap individu dan sosial. Perubahan dari
skala kecil hingga kepada skala besar menuju cahaya Allah (An-Nur). Oleh
karenanya mesti siap menanggung resiko. Bagi para Kekasih Allah
menghadapi resiko adalah merupakan kebahagiaan tersendiri, lebih baik
dianggap orang gila daripada gila sebenarnya (jununul ’uqala).
Inilah
kelompok yang ditunggu-tunggu oleh Bangsa dan Negara ini sebagaimana
yang dicita-citakan para pendiri bangsa (founding fathers) dalam
Undang-Undang ’45. Yakni mencapai bangsa yang penuh keadilan dan
kesejahteraan. Melalui figur orang-orang yang berani ‘tampil beda’
(meski dianggap gila) inilah Bangsa dan Negara ini bisa terselamatkan.
Tanda (indikator)
orang gila adalah tidak takut dan malu. Orang yang ingin terlepas dari
jeratan hukum dengan berpura-pura gila juga memiliki rasa takut. Jika
seseorang berani menjalankan agama dan tidak mengenal rasa malu dengan
orang lain maka orang tersebut adalah orang yang berani mengambil resiko
dianggap gila.
Sekarang
ini banyak orang salah kaprah, tidak meletakkan rasa malu pada tempat
sebenarnya yakni merasa malu melakukan kebaikan atau menegakkan
kebenaran. Sedangkan dalam urusan kejahatan tidak merasa malu lagi.
Meski sudah mengenakan baju tahanan KPK, penampilannya masih percaya
diri (PeDe). Manusia banyak yang gila dunia, jabatan, harta, sanjungan,
tapi anehnya mereka dianggap hebat.
Supaya
benar-benar beribadah, banyak menyebut Nama Allah dan mengaplikasikan
kesadaran kita dengan menjalankan ketetapan Allah walau berbeda dengan
kebanyakan manusia, Allah akan memberikan tanda kegilaan kepada Allah
berupa rasa berani dan tidak malu kepada manusia. Tidak ada kekhawatiran
atasnya dan tidak merasa sedih dicaci maki orang dalam menjalankan
kebenaran.
Orang
yang melakukan kebenaran itu tidak hanya disebut gila, tapi juga akan
mengalami keterasingan atau terpinggirkan (ter-marginal-kan). Mereka
yang jujur dan bertanggungjawab sering terpinggirkan oleh sistem yang
ada. Firman Allah menyatakan,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿يونس: ٦٢﴾
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Orang waras dianggap gila itu ternyata termasuk Awliya Allah.
Karena mereka tidak peduli dengan keberadaan orang di sekelilingnya
yang berbeda dengan dirinya. Mereka tidak mengenal rasa takut dan
bersedih kepada selain-Nya.
Gaya
hidup dan tradisi orang awam sekarang sama dengan kebanyakan manusia.
Anak muda zaman sekarang tidak cukup mengidolakan artis luar, hingga
didatangkan artis luar negeri. Meski harga tiketnya yang mahal pun
dibeli. Cara joget dan berpakaian diikuti, karena terseret arus
gelombang besar orang-orang yang jauh dari kebenaran. Mereka tidak mampu
melawan arus tersebut. Dan hanya orang-orang yang jiwanya belajar cinta
kepada Allah.
Dalam
menjalankan agamanya telah melampaui batas kecintaan. Jika ibadah
sholat, puasa hanya sebatas fiqih (tidak menembus relung jiwanya)
sehingga merasa Allah terus mengawasi jiwanya, berarti belum dikatakan
cinta kepada Allah. Orang yang belum cinta kepada Allah masih takut
kepada manusia. Ia takut disebut gila, takut terpinggirkan, takut tidak
bisa makan.
Orang
yang belajar cinta kepada Allah akan diberikan jiwa yang tangguh. Dalam
menjalankan agama, mereka sudah masuk ke dalam penghayatan (memasuki
alam rasa)[3]. Terjadi komunikasi antara dirinya dengan Allah sehingga jiwanya terus menyambung . Inilah awal seorang hamba mencintai Allah.
Dalam
konteks cinta, seseorang yang mencintai akan menyatu jiwanya dengan
yang dicintainya. Ke manapun ia melangkah akan selalu terbayang yang
dicintainya. Saat makan, bekerja, hingga terbawa ke alam mimpi.
Semestinya dalam menjalankan ajaran keagamaan tidak hanya sebatas
fisiknya semata, tapi menyentuh aspek penghayatan jiwa (tasawuf). Ia
selalu menjiwai berbagai pelaksanaan ibadahnya.
Kita
mesti terus belajar menghayati agama dengan penuh kesadaran. Caranya
adalah melalui media majelis dzikir dan ilmu. Melalui media tersebut
lisan dilatih untuk berdzikir. Lidah yang basah menyebut Nama Allah
karena banyaknya akan menyebabkan makna Asma tersebut masuk ke dalam
jiwanya. Jiwanya akan bergerak menangkap sesuatu yang ghaib. Ia
merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya. Inilah jalan awal
mencintai Allah.
Jika
terus belajar mencintai Allah maka Allah akan memberikan tanda
kegilaan. Begitu besar cinta menyebabkan tergila-gila. Dalam Al-Quran
disebut dengan Asyaddu Hubbal lillaah. Orang-orang yang beriman itu tidak sebatas cinta, tapi tergila-gila kepada Allah. Tergila-gila itu melampaui sekedar cinta.
Tanda kegilaan adalah laa khoufu ’alayhim,
jiwanya tidak dilanda rasa takut. Yakni takut miskin, difitnah dan
dihinakan orang. Tapi takut akan ancaman (murka) Allah, takut
menjalankan sesuatu yang dilarang Allah. Ia menghindar dan memutus
rantai media yang akan menyebabkan dirinya terperosok ke jurang kehinaan
dan siksa akibat melakukan dosa atau larangan Allah.
Sebaliknya
Orang yang tergila-gila dengan dunia dan kehidupannya takut tidak makan
padahal ia sedang makan, takut tidak menjabat padahal ia sedang
menjabat. Para Hakim kalah dengan suap, para politisi takut tidak
mendapat jabatan. Manusia semakin serakah, tamak, dan takut ditinggalkan
dunia. Inilah yang menyebabkan negara bahkan dunia porakporanda
(hancur).
Allah mengisyaratkan jika ingin dibukakan barokah dari langit dan bumi, mesti diisi dengan orang-orang yang gila kepada Allah.
Kita lihat diri kita apakah sudah laa khoufun
sebagaimana karakter para kekasih Allah atau masih dihinggapi ketakutan
dan kekhawatiran hidup. Allah mencabut rasa takut dan kekhawatiran
dalam hati orang beriman, sehingga timbullah keberanian untuk
menyuarakan kebenaran dan tampil beda karena kebenaran. Inilah yang
dibutuhkan untuk melakukan perubahan yang besar, diawali melalui diri
dan keluarga.
Indikator kedua adalah walaa hum yahzanuun,
jiwanya tidak merasa sedih, galau, bingung, gundah gulana dalam urusan
dunia. Tenang, tenteram dan penuh kepastian selalu menyelimuti jiwanya.
Ini merupakan deskripsi jiwa yang mencicipi kebahagiaan hakiki sebelum
datangnya akhirat. Hidupnya terasa nikmat, karena jiwanya senantiasa
menghadap dan mengabdi kepada Allah.
Kesimpulan
Fungsi
agama adalah sebagai perubahan, yakni merubah sikap, pikiran, dan
tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Resiko menjalankannya
adalah dituding gila (tapi bukan gila sebenarnya), karena mereka adalah
kelompok minoritas yang berani tampil beda demi kebenaran. Mereka yang
mampu melakukannya adalah orang-orang yang tidak mengenal rasa takut dan
khawatir dalam urusan dunia ini, karena jiwanya selalu menghadap
kepadaNya.
[1] Q.S. Al-Qalam: 51, Asy-Syu’ara: 27.
[2] Q.S. As-Saba: 28.
[3] Jiwanya merasakan bahwa Allah selalu mengawasi.