Menikah Dengan Mertua Tiri
Mertua Tiri tidak termasuk Mahram.
Pengertian Mahram
Mahram adalah
sebuah istilah yang berarti wanita yang haram dinikahi. Mahram berasal
dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi. Sebenarnya antara
keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat
sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
Hubungan
langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili
atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita
tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya
haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa ’iddah
talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyyah, yaitu wanita
yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi Majusi, Hindu,
Budha.
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen (muabbad), antara lain :
1. Kebolehan berkhalwat (berduaan)
Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
2. Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
Sedangkan
hubungan mahram yang selain itu adalah sekedar haram untuk dinikahi,
tetapi tidak membuat halalnya berkhalwat, bepergian berdua atau melihat
sebagian dari auratnya. Hubungan mahram ini adalah hubungan mahram yang
bersifat sementara saja.
Daftar Wanita Yang Haram Dinikahi
Untuk
menetapkan apakah seorang laki-laki dihalalkan menikah dengan seorang
wanita, caranya cukup mudah. Yaitu dengan melihat pada daftar mahram
(wanita yang haram dinikahi).
Bila
seorang wanita tercantum di dalam daftar itu, maka hukumnya haram
dinikahi. Sebaliknya, bila tidak tercantum, maka boleh dinikahi.
Dalam
hal ini, kita patut berterima kasih kepada para ulama fiqih, di mana
mereka telah melakukan proses pengumpulan semua dalil, baik dari
Al-Quran dan Al-hadits, lalu melakukan proses kritisasi periwayatan
masing-masing hadits tersebut, kemudian melakukan analisa mendalam dan
akhirnya mengambil kesimpulan yang pasti.
Hasilnya
berupa daftar yang lengkap mengenai wanita mana saja yang menjadi
mahram. Berikut ini adalah daftar itu, sebagaimana yang tersebar di
berbagai kitab fiqih.
1. Mahram karena nasab
· Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
· Anak wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
· Saudara kandung wanita.
· `Ammat / Bibi (saudara wanita ayah).
· Khaalaat / Bibi (saudara wanita ibu).
· Banatul Akh / Anak wanita dari saudara laki-laki.
· Banatul Ukht / anak wanita dari saudara wanita.
2. Mahram karena mushaharah (besanan/ipar) atau sebab pernikahan
· Ibu kandung dari istri (mertua wanita).
· Anak wanita dari istri (anak tiri).
· Istri dari anak laki-laki (menantu peremuan).
· Istri dari ayah kandung (ibu tiri).
3. Mahram karena penyusuan
· Ibu yang menyusui.
· Ibu dari wanita yang menyusui (nenek).
· Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga).
· Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).
· Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.
· Saudara wanita dari ibu yang menyusui.
Mahram dalam Makna Haram Menikahi Semata
Selain
itu, ada keadaan wanita tertentu yang menjadi haram dengan sendirinya
untuk dinikahi, bukan disebabkan adanya hubungan seseorang dengannya,
melainkan disebabkan oleh keadaan wanita itu sendiri secara individu.
Keharaman ini bersifat bersifat mu'aqqat atau sementara. Di antaranya:
- Istri orang lain, tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh melihat auratnya.
- Saudara ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri.
- Wanita yang masih dalam masa 'iddah, yaitu masa menunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati.
- Istri yang telah ditalak tiga.
- Menikah dalam keadaan Ihram, seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik untuk haji atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain.
- Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka.
- Menikahi wanita pezina.
- Menikahi istri yang telah dili’an, yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat.
- Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah.
Kasus Menikah dengan Mantan Mertua Tiri
Dari daftar di atas kita dapati bahwa hubungan antara suami
dengan ibu tiri istrinya atau seorang pria dengan ibu mertua tirinya
bukanlah hubungan mahram, sehingga dibolehkan dan dimungkinkan terjadi
pernikahan di antara mereka.
Adapun ayat 22 dalam Surat an-Nisa :
وَلاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ أبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan janganlah kamu menikahi istri-istri ayah kamu”.
Yang dimaksud disini adalah antara anak kandung dengan istri-istri ayah kandungnya.
Demikian pula ayat 23 dalam Surat an-Nisa :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهَاتُكُمْ .....وَاُمَّهَاتُ نِسَاءِكُمْ
“Diharamkan atas kalian Ibu-ibu kalian …….dan Ibu-ibu dari istri–istri kalian.”
Yang dimaksud di sini adalah ibu kandung istri bukan ibu tirinya, karena yang dimaksud ibu disini adalah dari segi nasab (min jihatin nasb)
adapun lafal jamak disini tidak bisa diartikan sebagai ibu tiri dari
istri tetapi ibu kandung dari istri-istrinya jika ia memiliki lebih dari
satu istri atau ibu istri ke atas misalnya neneknya. (lihat tafsir
ash-Showi tentang ayat di atas atau I’anatuth Tholibin juz III dalam bab nikah).
RUJUKAN CONTOH KASUS:
KEPUTUSAN
JAWATAN KUASA PERUNDING HUKUM SYARA' (FATWA) NEGERI SELANGOR DARUL
EHSAN MENGENAI PERNlKAHAN ANTARA MENANTU DENGAN IBU MERTUA TIRI
1. TAJUK PERSOALAN
Pihak
Jabatan Agama Islam Selangor telah menerima pengaduan daripada wakil
jemaah Surau Kg. Pekan, Simpang Lima, Sungai Besar mengenai seorang ahli
qaryah tersebut telah bernikah dengan ibu mertua tirinya.
Aduan
ini dipanjangkan ke Bahagian Fatwa untuk mendapatkan keputusan Fatwa
samada sah atau tidak pernikahan mereka berdua. Pernikahan tersebut
melibatkan En. Mohidin bin Abd. Samad (Menantu) dengan Puan Arbaatun bte
Hj. Maamun (Ibu Mertua tiri yang telah bernikah pada 29 November 1991
dan dinaikahkan oleh AF Tuan Kadi Sungai Besar.
Maka Jawatankuasa Perunding Hukum Syara' (Fatwa) telah diminta memberikan Fatwanya mengenai perkara tersebut.
2. PERBINCANGAN DAN KEPUTUSAN
2.1. Jawatan kuasa Perunding Hukum Syara' (Fatwa) telah membincangkan perkara di atas dengan penuh teliti mengikut hukum yang muktabar di dalam Islam. Keputusannya adalah seperti berikut :
"Bahawa
pernikahan di antara En. Mohidin bin Abd. Samad (Menantu) dengan Puan
Arbaatun bte Hj. Maamun adalah sah, kerana ia tidak ada hubungan nasab
keturunan atau ikatan perkahwinan yang diharamkan mengikut hukum Syara'
dalilnya adalah :
Maksudnya :
Diharamkan
kepada kamu berkahwin (perempuan-perempuan yang berikut), ibu-ibu kamu
dan anak-anak kamu dan saudara-saudara kamu dan saudara-saudara bapa
kamu dan saudara-saudara ibu kamu dan anak-anak saudara kamu yang lelaki
dan anak-anak saudara kamu yang perempuan dan ibu-ibu kamu yang telah
menyusukan kamu dan saudara-saudara sesusuan kamu dan ibu-ibu isteri
kamu dan anak-anak tiri yang dalam peliharaan kamu dari isteri-isteri
yang telah kamu campuri, tetapi kalau kamu belum campuri mereka (isteri
kamu) itu (dan kamu telah pun menceraikan mereka), maka tiadalah salah
kamu (berkahwin dengannya), dan (haram juga kamu berkahwin dengan) bekas
isteri anak-anak kamu sendiri yang berasal dari benih kamu, dan
diharamkan kamu menghimpunkan dua beradik sekali (untuk menjadi
isteri-isteri kamu), kecuali yang telah berlaku pada masa yang lalu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Mengasihi, dan
(diharamkan juga kamu berkahwin dengan) perempuan-perempuan isteri
orang, kecuali hamba sahaja yang kamu membelinya, (diharamkan segala
yang tersebut itu) ialah suatu ketetapan hukum Allah (yang diwajibkan)
atas kamu, dan (sebaliknya), dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan
yang lain dari yang tersebut itu" .
Daripada
ayat yang disebutkan di atas jelas menunjukkan bahawa tidak ada
larangan perkahwinan (pernikahan) emak mertua tiri itu diharamkan dalam
Islam.
*Ibu
Mertua Tiri bukanlah Mahram kerana Mushoharoh (Berkahwin) kepada
menantu lelakinya. Cuma semasa menjadi isteri kepada Bapa Mertua, Ibu
Mertua Tiri tersebut tidak boleh berkahwin dengan Menantu lelakinya
tersebut, kerana dia masih isteri orang; iaitu wanita yang terhalang
untuk dikahwini. Maka setelah diceraikan, dia boleh berkahwin dengan
menantunya, sepertimana di dalam fatwa di atas.
Sumber:
- Fiqih Nikah, Ust. H. Sarwat, Lc
- http://ppassalamcepu.blogspot.com/2012/01/
- www.muftiselangor.gov.my/PortalFatwaSelangor/