2 Perkara Sunnah dalam Sholat
Menyingkap kesamaan Madzhab Maliki & Syafi\'i
Tarekat Idrisiyyah dibawa oleh para Guru dari Jazirah Arabia yang berhaluan fiqih madzhab Maliki.[1]
Ketika dibawa oleh Syekh Akbar Abdul Fattah ke Indonesia, Tarekat ini
pun menyesuaikan pijakan fiqihnya menjadi madzhab Syafi’i agar
memudahkan ajaran Tarekat ini disosialisaikan di tengah masyarakat yang
mayoritas Sunni.
Selain adanya perbedaan antar madzhab
(khususnya Maliki dan Syafi’i), ada beberapa kesamaan keduanya dalam
beberapa amaliyyah. Di antaranya masalah mengangkat kedua tangan ketika
takbir di beberapa tempat, dan duduk istirahat (jalsah istirohah) sebelum bangkit dari sujud pada raka’at pertama dan ketiga.
Dalam kitab Min Nawadir al-Maalikiyyah, yang memuat beberapa Risalah para Ulama Maliki terdapat karya Syekh Muhammad bin Ali As-Sanusi Al-Khara-ithi yang bernama Syifaa-ush Shadr bi Ara al-Masaa-il al-’Asyr. Dalam kitab tersebut membahas 10 kajian seputar aturan Shalat, termasuk membahas ‘mengangkat tangan ketika takbir’.
Menurut
kitab Syekh M. Bin Ali as-Sanusi yang bermadzhab Maliki tersebut
disimpulkan bahwa sunnah ketika takbiratul ihram dalam sholat mengangkat
kedua tangan sampai jari-jarinya dirapatkan sebahu. Selain itu
dilakukan ketika hendak ruku, berupa takbir intiqal (perpindahan dari rukun fi’li
dalam sholat). Takbir ketiga, yakni bangkit i’tidal disunnahkan pula
mengangkat tangan. Pendapat ini adalah sama dengan Imam Syafi’i. [2]
Pendapat tersebut mengambil dari beberapa riwayat hadits, di antaranya:
عَنِ
ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَتَحَ التَّكْبِيرَ فِي الصَّلَاةِ
فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ
مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ فَعَلَ مِثْلَهُ وَإِذَا قَالَ
سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَعَلَ مِثْلَهُ وَقَالَ رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ وَلَا يَفْعَلُ ذَلِكَ حِينَ يَسْجُدُ وَلَا حِينَ يَرْفَعُ
رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ (اخرجه الشيخان)
Dari Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma berkata,
"Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memulai shalat dengan
bertakbir. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga
meletakkan kedua tangannya sejajar dengan pundaknya. Ketika takbir untuk
rukuk beliau juga melakukan seperti itu, jika mengucapkan: 'SAMI'ALLAHU
LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar siapa yang memuji-Nya) ', beliau
juga melakukan seperti itu sambil mengucapkan: 'RABBANAA WA LAKAL HAMDU
(Ya Rabb kami, milik Engkaulah segala pujian) '. Namun Beliau tidak
melakukan seperti itu ketika akan sujud dan ketika mengangkat kepalanya
dari sujud." (HR. Bukari dan Muslim)
Kesamaan lainnya, disunnahkan duduk istirahat (jalsah istirahah جلسة الاستراحة) setelah selesai raka’at yang pertama dan ketiga. Kedua madzhab (Maliki dan Syafi’i) juga sepakat dalam hal ini.
Diantara dalilnya adalah hadist Malik bin Al-Huwairits:
أَنَّهُ
رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَإِذَا
كَانَ فِي وِتْرٍ مِنْ صَلَاتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا
Bahwa
dia (Malik bin Al-Huwairits Ra.) melihat Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam melaksanakan shalat, jika sampai pada rakaat yang ganjil, maka
beliau tidak bangkit berdiri hingga duduk sejenak." (HR : Aljama’ah kecuali Muslim dan Ibnu Majah)
Imam Asy-Syaukany berkata:
الحديث فيه مشروعية جلسة الاستراحة وهي بعد الفراغ من السجدة الثانية وقبل النهوض إلى الركعة الثانية والرابعة .
"Di dalam hadist ini terdapat dalil disyari'atkannya duduk istirahat, yaitu duduk setelah sujud kedua sebelum bangkit ke rakaat kedua dan keempat."[3]
Syekh
Ahmad bin Idris dan Syekh Muhammad bin Ali as‑Sanusi keduanya menganut
mazhab Imam Malik, walaupun tidak semua pendapat Malik disetujuinya.
Keduanya juga menyeru umat, terutama para ulama, untuk melakukan ijtihad
dan tidak bertaklid
kepada madzhab yang manapun. Pendapat‑pendapat mazhab yang mewariskan
kekayaan pemikiran dan memberikan banyak keleluasaan berpendapat, bukan
sebagai rujukan mutlak dan satu‑satunya yang menimbulkan fanatisme dan
perpecahan intern umat.
Demikianlah
yang dilakukan Syekh Akbar Abdul Fattah dalam mengembangkan ajaran
Idrisiyyah dengan kebijakan Fiqh yang memiliki semangat ijtihad dan
keluwesan di tengah sandaran pendapat para Imam madzhab. Dalam
menerapkan aturan ibadah kepada murid-muridnya Beliau banyak menggunakan
madzhab Syafi’i, sesuai dengan kondisi haluan Fiqih yang berkembang di
Pulau Jawa saat itu. Dan dalam menentukan hukum suatu masalah Beliau
tidak kaku dengan berpedoman pada satu madzhab.
Setelah
Beliau wafat, kebijakan itu pun dilanjutkan penerusnya hingga kini.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan haluan Fiqh di Idrisiyyah amat
bergantung kepada kebijakan Mursyidnya berdasarkan relevansi dan
kontekstualitas masalah yang dikaji dengan sumber hukum yang telah
dikembangkan para Imam Madzhab sebelumnya.
Lq, 28 Maret 2013.
[1] Madzhab ini didirikan oleh Imam
Malik (lengkapnya Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir
bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris Al Asbahi)
yang bergelar Syaikhul Islam, Hujjatul Ummah, Mufti Al Haramain (Mufti dua tanah suci) dan Imam Daarul Hijrah. Beliau
lahir di Madinah pada tahun 712-796 M. Imam Malik menekuni pelajaran
hadis kepada ayah dan paman pamannya juga pernah berguru pada ulama
ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab Al Zuhri, Abu
Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said Al Anshari, Muhammad bin
Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far AsShadiq. Menurut
riwayat muridnya yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran
Imam malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap
gurunya. Imam Malik wafat pada tahun 179 H. Jenazah beliau dimakamkan di
pemakaman Baqi’. (Dari berbagai sumber).
[2] Seluruh
madzhab sepakat bahwa mengangkat kedua tangan ketika takbir
disunnahkan. Namun Imam Hanafi tidak sepakat bahwa mengangkat tangan
disyari’atkan ketika shalat selain takbiratul ihram, mengambil riwayat
Ibnu Mas’ud tentang cara Shalat Nabi Saw. [Fatwa Kontemporer, Yusuf
Qardhawi]