Menjalani puasa sejak kecil hingga saat ini, hal yang
paling sering saya dengar tentang makna puasa adalah menahan. Ya, menahan,
mulai dari lapar, haus, dan juga hawa nafsu. Dari menahan, pemaknaan pun
berlanjut menjadi pengibaratan diri manusia layaknya mesin yang perlu
perawatan. Maka puasa adalah metode untuk men-service diri baik secara
fisik, psikis, maupun spiritual setelah digunakan tanpa henti.
Saya menerima keduanya, meskipun saya belum cukup puas
dengan apa yang saya tangkap dari apa yang saya dengar itu.
Mengapa?
Begini ceritanya.
Benar puasa adalah menahan, tapi untuk apa menahan?
Benar pula bahwa puasa adalah memberikan waktu bagi diri untuk dirawat, tapi
apa ujungnya dirawat secara khusus begini?
Aha, ujung. Ujung ini kata kuncinya menurut saya—bisa
jadi tidak menurut Anda lho. Manusia adalah makhluk bertujuan. Ya, dengan
berbagai potensi yang tak terhitung jumlahnya, mustahil Tuhan menciptakan
manusia tanpa tujuan. Tujuan, alias ujung tadi, pasti lebih dari sekedar cara.
Menahan adalah cara, begitu pula dengan perawatan. Dari berpikir soal ujung,
saya pun menemukan beberapa hal.
Sesuatu perlu ditahan, jika ia memiliki energi untuk
bergerak dan melaju. Kita tidak perlu menahan jika sesuatu yang diam saja,
bukan? Maka manusia diperintahkan untuk menahan karena ia punya energi yang
luar biasa dan berpotensi pula untuk tak terkendali. Sesuatu perlu dirawat
secara rutin, karena tiap hal memiliki titik jenuh. Bagi mesin titik jenuh itu
adalah keausan yang berakhir pada kerusakan. Bagi manusia, titik jenuh itu bisa
jadi juga adalah keausan secara fisik atau kekeringan secara emosional dan
spiritual. Tanpa perawatan, maka kotoran yang menempel pada mesin akan menempel
begitu erat sehingga sulit untuk dibersihkan dan mengganggu kinerja mesin.
Tanpa perawatan, hal yang sama dapat terjadi pula.
Ah, menempel. Ini kunci satu lagi. Ketika menahan,
kita melepaskan diri sejenak dari kelekatan terhadap makanan, minuman, dan hawa
nafsu yang biasanya dihalalkan. Ketika berada dalam perawatan, kita melepaskan
diri dari kotoran-kotoran fisik, emosional, dan spiritual yang menjauhkan kita
dari fitrah sebagaim khalifah di muka bumi.
Dan sesungguhnya, ketika menahan, kita tidak sekedar
menahan. Ya, tidak ada satu pun dari potensi kita yang benar-benar berhenti
berfungsi ketika itu, sebab menahan hakikatnya adalah berhenti sejenak untuk
terlibat dan ’memandang’ dari kejauhan. Bukankah ketika berpuasa kita bisa
merasakan nikmatnya makanan? Bukankah ketika berpuasa kita bisa merasakan
asyiknya kesabaran? Bukankah ketika berpuasa kita bisa merasakan kedekatan
dengan Tuhan?
Menggunakan jargon NLP, puasa adalah cara untuk disassociated
dari kelekatan terhadap keseharian dengan beragam fenomenanya. Dengan menahan,
kita berada pada meta-position dan diajak untuk melihat apa yang
seringkali kita lihat, mendengar apa yang seringkali kita dengar, dan merasa
apa yang seringkali kita rasa.
Neuro-Semantic menyebutnya sebagai Meta-State, alias state
about state. Falsafah Jawa menyebutnya dengan Ngrumangsa Ning Rasa
(merasakan rasa). Di titik inilah puasa akan menggiring pada penemuan makna.
Ingat bahasan kita tentang Phytagoras?
Kita bisa menemukan makna kemanusiaan kita ketika
berpuasa, yang dengannya kita ’naik’ dan mengamati keseharian yang sudah
terlalu biasa kita jalani. Ya, hanya dengan mengamati secara sungguh-sungguh
kita bisa mengurai benang yang kusut, mencari alternatif jalan yang buntu, juga
menyingkirkan penghalang guna mencapai tujuan lebih cepat.
Manusia itu sudah sempurna kok. Ia hanya perlu secara
kontinyu membersihkan kotoran-kotoran yang menempel agar ’cahayanya’ dapat
terus bersinar.