Dan Ketika Ramadhan Berakhir…
Tepat ketika saya sedang
menulis artikel ini, salah seorang member milis kita mengirimkan pesan lewat
Google Talk: Pak, tulis tips agar tetap fit selama puasa donk.
Sip, jodoh nih, pikir saya.
Kebetulan memang belum ada judulnya, seketika itu juga judul di atas terbersit
dalam pikiran saya.
Loh, baru mulai puasa kok sudah
berpikir selesai?
Ketika beberapa rekan bertanya
dan bercerita tentang tips puasa, saya justru penasaran dengan pertanyaan yang
justru sebaliknya: apakah yang kita inginkan dari berpuasa? Menggunakan Meta
Model yang baru saja kita pelajari, setelah tahu berbagai manfaat yang bisa
kita dapat baik fisik, psikologis, dan spiritual, apa persisnya yang ingin kita
capai dengan menjalaninya?
Aha, mungkin inilah yang belum
sempat kita pikirkan. Kalaupun sempat, barangkali kata ’persisnya’ baru kali
ini menyentil pikiran kita.
Tapi omong-omong, mengapa kita
perlu memikirkan kata ’persisnya’ ini dalam konteks puasa?
Simple. ”Begin with the end
in mind” kata Mbah Stephen Covey, ”Wellformed Outcome” kata NLP. Otak kita bekerja efektif
hanya jika ada perintah yang secara spesifik diberikan kepadanya.
Contoh: mengapa kita tidak
pernah kesasar ketika pulang ke rumah kita sendiri meskipun jalanan macet
sehingga kita harus berputar-putar mencari jalan pintas?
Tepat! Kita punya gambaran
mendetil tentang rumah kita di dalam pikiran sehingga unconsciously ia akan menggabungkan
beragam informasi pendukung yang dapat mempercepat proses pencapaian tujuan.
Ah, cepat. Ini satu lagi
prinsip kerja otak kita. Ia tidak pernah mau mencari cara paling lambat. Ia
hanya mau cara yang paling cepat. Memiliki outcome yang
jelas adalah salah satu cara mempercepat proses pencapaian tujuan kita.
Loh, kok tampak kuno ya konsep
ini?
Betul sekali. Di manapun Anda
membaca tulisan ataupun mengikuti seminar motivasi, kepemimpinan, pengembangan
diri, dll Anda dijamin akan menemui hal yang senada. Masalahnya bukan pada
kekunoan konsep ini, melainkan pada satu kalimat yang barangkali Anda ingat
pernah saya tulis beberapa waktu lalu:
I know what to do,
but I don’t do what I know
OK, cukup pembukaannya. Lebih
sistematis sekarang.
1. Tetapkan outcome Anda secara wellformed.
Ingat, jangan karena ini urusan
’akhirat’ maka kita lupakan ilmu ’dunia’. Jika kita gunakan NLP untuk bisnis
dan kehidupan sehari-hari, mengapa justru kita lupakan dalam urusan ibadah? So, apa yang ingin Anda capai
setelah Ramadhan berakhir? Tuliskan secara detil sesuai rumus wellformed outcome. Mumpung Ramadhan baru mulai,
sempurnakan tujuan Anda sampai Anda bisa melihat, mendengar, dan merasakan Anda
telah mencapainya. Jika ia masih kabur, berarti belum wellformed. Keep improving then. Petunjuknya
kan sudah jelas: puasa untuk menjadikan kita orang bertakwa. Nah, jika kita
setuju dengan salah satu definisi takwa yang sering disebut—mematuhi
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya—jadikanlah ia sasaran yang terkukur.
Mematuhi perintah, misalnya,
khatam Al-Qur’an 3 kali, shalat tahajud setiap malam tanpa kecuali, bersedekah
RpX setiap hari, menyumbang buka puasa berupa X sebanyak Y kali kepada Z orang,
dll. Menjauhi larangan, misalnya, stop ngerumpi setiap jam istirahat dengan
menggantinya dengan mengikuti pengajian atau membaca buku, mengurangi
marah-marah ketika sedang menyetir dengan berlatih state management berupa tersenyum kepada orang yang
mengambil jalur kita, dll.
Jika outcome sudah wellformed, lakukan chunking down menggunakan Meta Model dengan mendetilkan aktivitas
yang harus Anda lakukan setiap harinya dimulai dari hari ini sampai terakhir
Ramadhan.
2. State management selama puasa.
Pastikan Anda sahur dan berbuka
pada waktunya, sebab bagaimanapun fisiologi adalah elemen yang tak terpisahkan
dari emosi dan pikiran. Jangan kurangi kenikmatan puasa Anda hanya karena tubuh
yang loyo akibat tidak tertunaikan haknya mendapatkan makanan.
Bagaimana jika kita mendapat
’godaan’ ketika sedang berpuasa? Godaan dalam arti luas loh ya, apapun
bentuknya.
It’s ok. Sangat wajar kok. Bukankah godaan itu ada untuk
menjadi bahan latihan buat kita? Yang jadi masalah, kita seringkali menjadikan
ketergodaan tersebut sebagai sebuah kesalahan luar biasa dan karenanya
cenderung menyalahkan diri terus-menerus. Cukup akui bahwa kita baru saja
tergoda, ucapkan istighfar, dan berdamai dengan diri dengan mengatakan, ”Saya
memang baru saja tergoda, dan saya sedang menjalani proses memperbaiki diri.”
Model kalimat seperti ini memiliki struktur hypnotic language,
karenanya akan masuk langsung ke unconscious
yang akan mengingatkan kita di kemudian hari setiap kali akan muncul godaan
lain.
3. Monitor pencapaian dan tetaplah
fleksibel.
Sudah membuat tujuan, ingat
untuk memonitor. Jika pada state management
kita memonitor kondisi kita yang kualitatif, ingat pula untuk mencermati
pencapaian outcome kita berikut hasil chunking-nya. Misalnya, karena ada
beberapa kegiatan mendadak dan jadwal membaca Al Qur’an agak terganggu, segera
sesuaikan dengan mencari jadwal lain untuk tetap memenuhi target. Begitu pun
ketika target bersedekah tersendat karena ada keperluan keuangan mendadak,
cepat-cepatlah mencari cara untuk mendapatkan sumber dana tambahan guna
mencapai target.
Loh, ibadah kok kayak kerja
sih?
Mengapa tidak? Berusaha keras
memenuhi target akan menjadikan kita memiliki integritas yang tinggi di hadapan
diri kita sendiri. Yap, kejujuran akan menciptakan alignment di antara conscious
dan unconscious kita sehingga
saling mendukung satu sama lain. Di titik inilah kita akan merasakan kenikmatan
dan kedamaian dalam menjalani hidup.
When performance meets alignment, kata Peter Wrycza. Ketika
hasil selaras dengan proses, di situlah perjalanan menjadi bermakna.
So,
membaca sejauh ini, adakah yang baru?
Jelas tidak. Sebab masalahnya
ada pada
I know what to do,
but I don’t do what I know
Ingin Ramadhan Anda bermakna?