Vibrasi Positif dengan Reframing
Apa menurut Anda yang akan Anda
rasakan jika Anda mampu berada dalam kondisi positif 24 jam sehari 7 hari
seminggu?
Luar biasa tentunya, bukan?
Membayangkan diri terbebas dari belenggu mood dan
beragam situasi eksternal yang seringkali kita anggap memegang kendali terhadap
pikiran dan emosi jelas adalah hal yang amat menggembirakan. Sisi lain,
berkaitan dengan vibrasi positif yang menjadi syarat penting dalam LoA, kondisi
(state) positif amat
memungkinkan kita untuk memancarkan vibrasi positif setiap saat kapan pun kita
menginginkannya.
Nah, salah satu teknik dalam
NLP yang merupakan favorit saya untuk selalu berada dalam kondisi positif ini
adalah reframing. Reframing istimewa bagi saya karena
kesederhanaannya (meskipun belum tentu mudah) namun memiliki efek yang besar
sekalipun seringkali dilakukan hanya dengan menggunakan percakapan saja.
Prinsip dasar reframing adalah mengubah keberatan
menjadi keuntungan. Dengan syarat keberatan tersebut adalah sesuatu yang tidak
bisa diubah lagi. Misalnya, cacat tubuh, kejadian di masa lalu, anggota
keluarga, dll yang memang di luar lingkaran pengaruh kita untuk berbuat sesuatu
guna menjadikannya sesuai dengan keinginan kita. Didasarkan pada asumsi bahwa
di balik setiap perilaku/kejadian terkandung maksud positif, reframing mengajak kita untuk
keluar dari kerangka berpikir ‘masalah’ dan melompat ke dalam kerangka berpikir
‘solusi’ atau ‘tujuan/outcome’.
Lalu, bagaimana kita bisa
melakukannya?
Ada cukup banyak teknik reframing yang hingga kini
ditemukan oleh para pakar NLP. Kumpulan teknik tersebut seringkali disebut
sebagai Sleight of Mouth Pattern atau
Mind-Lines Pattern dalam Neuro-Semantic. Namun
dalam kesempatan kali ini, saya hanya akan membahas 2 jenis reframing yang paling dasar dan
cukup ampuh untuk menjadikan kita senantiasa berada dalam kondisi positif: context dan content reframing.
Context Reframing
“Tubuh saya terlalu tinggi!”
Menggunakan jenis ini, kita
memindahkan suatu hal atau kejadian dalam konteks ruang/waktu yang berbeda
sehingga memunculkan makna baru yang lebih positif. Dalam contoh keberatan di
atas, maka kita bisa bertanya, “Dalam konteks apakah tubuh yang tinggi tersebut
menjadi keuntungan?” Dan beragam jawaban pun bisa kita munculkan mulai dari
cocok sebagai olahragawan, tidak memerlukan tangga untuk mencapai tempat yang
tinggi, tidak terhalang ketika nonton konser, sampai pada mendapatkan udara
yang lebih segar karena udara yang berada di atas lah yang masih murni dan
menyegarkan.
Bagaimana dengan, “Tubuh saya
terlalu pendek!”?
Dengan pertanyaan yang sama
kita bisa menemukan banyak konteks seperti lebih lincah dalam bergerak, lebih
hemat dalam membuat pakaian (apalagi jika si orang ini memiliki orientasi
finansial yang tinggi), dll.
Jika Anda masih ingat dengan
pembahasan kita tentang Meta Model, maka reframing jenis ini amat pas jika
digunakan pada kalimat keberatan yang menggunakan pola universal quantifiers.
Content/Meaning Reframing
Berbeda dengan context reframing, pada jenis ini
kita menggali makna lain yang lebih positif dari suatu hal atau kejadian tanpa
memindahkan atau mengubah kejadiannya.
“Anak buah saya sulit untuk
diajak kerja cepat! Tidak sabar saya dibuatnya.”
Menggunakan content reframing, kita bisa
bertanya, “Apa makna lain yang positif dari anak buah yang sulit diajak untuk
bekerja cepat?” Seketika, kita pun dapat menemukan pertanyaan baru seperti,
“Bukankah itu berarti mereka mengerjakan pekerjaan dengan hati-hati?” Dan BUM!
Makna baru pun kita dapatkan. Dengan frame ini,
sang atasan dapat lebih fokus untuk mendayagunakan anak buahnya agar dapat
menghasilkan pekerjaan dengan kualitas yang lebih tinggi alih-alih pusing dengan
kelambatan mereka.
Nah, apa yang bisa kita lakukan
dengan keberatan ini: “Produkmu bagus, tapi harganya terlalu mahal!”
Yak, tepat. Salah satunya,
“Benar. Kami memang tidak ingin mengorbankan kualitas hanya demi harga jual
yang murah. Bukankah Anda juga demikian?”
Pertanyaan: Sama kah reframing dengan positive thinking?
Jawaban saya: ya dan tidak.
Bahwa kita mencari makna yang lebih positif itu benar. Namun reframing tidak sekedar mencari
makna yang positif, ia adalah usaha untuk mencari makna positif yang empowering bagi kita.
Loh, memangnya ada berpikir
positif yang tidak empowering?
Tentu ada. Misal, jika rekan
Anda mengeluh, “Istri saya sangat posesif sehingga selalu menelepon saya setiap
jam!” dan Anda mengatakan kepadanya, “Bukankah itu berarti ia perhatian kepada
Anda?”. Ini adalah sebuah usaha untuk berpikir positif, namun pertanyaan saya,
“Apakah Anda mau diperhatikan dengan cara seperti itu?” Reframing seperti, “Bukankah itu
sinyal untukmu untuk dapat lebih peka dan mencari tah apa penyebabnya?”
barangkali lebih tepat karena bersifat action oriented.
Nah, lalu apa kaitannya dengan
vibrasi positif dalam LoA?
Sangat erat. Jika Anda ingin
menjadi ‘magnet’ yang memiliki daya tarik positif yang kuat, maka Anda pun
harus memancarkan aura positif yang kuat pula. Tanpa perlu teknik macam-macam
yang njelimet dan memakan waktu,
Anda bisa menjadi pribadi yang lebih positif dengan reframing. Ketika seseorang menyalip Anda di jalan
dengan kasar, misalnya, alih-alih membiarkan emosi negatif Anda meluap Anda bisa
mengatakan, “Barangkali ia memang sedang buru-buru karena ada anggota
keluarganya yang sakit.” Beres, kan?
Atau, Anda pulang kantor dan
jalanan macet luar biasa, “Wah, kesempatan buat baca buku dan menikmati musik
nih.” Yang terakhir ini sering sekali saya lakukan sehingga saya tidak lagi
merasakan kemacetan sebagai sebuah musibah.
Sederhana, kan? Tanpa perlu
mengotak-atik kejadiannya, kita bisa menjadikan kejadian apapun lebih bermakna.
Well,
memang tidak semua hal akan terselesaikan dengan reframing semata. Namun paling tidak kita bisa berpikir
lebih jernih untuk kemudian mencari solusi yang lebih tepat.
Hebatnya lagi, jika Anda
mempelajari beragam teknik-teknik NLP, Anda akan menemukan bahwa yang dilakukan
NLP adalah reframing terhadap apa yang
sudah seringkali kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tengok saja NLP Presuppositions:
Makna dari komunikasi ada pada
respon yang kita dapatkan.
Di balik setiap perilaku pasti
ada maksud positif.
Tidak kata gagal, yang ada
hanyalah umpan balik.
Tidakkah ini semua adalah reframing yang excellent?
Bahkan, kita pun sudah
seringkali melakukannya tanpa disadari. Anda ingat pernah mengatakan, “Ya, kita
ambil hikmahnya saja lah”. Hey, bukankah itu content reframing?
Anda boleh tersenyum sekarang
menyadari hal ini. Anda adalah reframer
alamiah dan karenanya juga adalah pengirim vibrasi positif alamiah pula.
Salam Vibrasi Positif!