Hati adalah Lautan Kebahagiaan
Hati adalah lautan kebahagiaan
Kita semua berbahagia di hari ’Ied. Jika tidak merasakannya berarti ia memiliki tanda belum kembalinya kepada fitrah yang telah Allah janjikan. Kebahagiaan
di hari raya mesti diungkapkan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah Saw dan para sahabat Beliau pada masa dulu.
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي
جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ
الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا
بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Diriwayatkan sebuah hadits dari 'Aisyah Ra.,
"Abu Bakar masuk menemui aku saat itu di sisiku ada dua orang budak
tetangga Kaum Anshar yang sedang bersenandung, yang mengingatkan kepada
peristiwa pembantaian kaum Anshar pada perang Bu'ats." 'Aisyah
menlanjutkan kisahnya, "Kedua sahaya tersebut tidaklah begitu pandai
dalam bersenandung. Maka Abu Bakar pun berkata, "Seruling-seruling setan
(kalian perdengarkan) di kediaman Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam!" Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya 'Ied. Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita." (HR. Bukhari No. 899)
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثٍ
فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ
فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ مِزْمَارُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دَعْهُمَا فَلَمَّا غَفَلَ
غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا وَكَانَ يَوْمَ عِيدٍ يَلْعَبُ السُّودَانُ
بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ فَإِمَّا سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِمَّا قَالَ تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ
فَقُلْتُ نَعَمْ فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ خَدِّي عَلَى خَدِّهِ وَهُوَ
يَقُولُ دُونَكُمْ يَا بَنِي أَرْفِدَةَ حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ قَالَ
حَسْبُكِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَاذْهَبِي
Dari Aisyah RA, dia
berkata, "Rasulullah SAW masuk ke rumah, dan ketika itu bersamaku ada
dua orang budak perempuan yang sedang melantunkan lagu perang Bu'ats.
Lalu beliau berbaring di atas tilam dengan memalingkan wajahnya.
Tiba-tiba Abu Bakar masuk, lalu dia membentak seraya mengatakan, 'Mengapa ada seruling syetan di rumah Rasulullah SAW' Rasulullah SAW menghadap Abu Bakar dan berkata, "Biarkanlah keduanya." Ketika Rasulullah SAW lengah, maka aku memberikan isyarat kepada keduanya, lalu mereka pergi. Pada saat hari raya
orang-orang Sudan membuat pertunjukkan dengan mempergunakan perisai dan
tombak, mungkin aku yang meminta kepada Rasulullah SAW atau beliau yang
mengatakan, "Engkau ingin menontonnya?' Aku menjawab, 'Ya.'
Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakangnya, sedangkan pipiku menempel
dengan pipi beliau. Beliau berkata, 'Mundurlah wahai Bani Arfidah!'
Setelah aku merasa jemu, beliau bertanya, 'Engkau sudah puas? Aku menjawab, 'Ya.' Lalu beliau berkata, 'Pergilah' {Muslim 3/22 No. 435}
Di
balik cerita hadits riwayat Shahih Bukhari dan Muslim tersebut
menunjukkan bahwa setiap muslim mesti berbahagia di hari ‘Ied. Ekspresi
kebahagiaan itu bisa bermacam-macam, sesuai dengan kondisi budaya yang
ada di setiap masa. Begitu indah tuntunan Islam dalam menghargai
tercapainya kemenangan fitrah (suci) itu, dengan ungkapan kebahagiaan.
Halal bi Halal
adalah merupakan rangkaian kegiatan Hari Raya, dan di dalamnya mesti
terungkap rasa bahagia tersebut. Kebahagiaan fitri itu bukan diungkapkan
dengan euforia dan pesta pora, melainkan dengan ungkapan rasa syukur
kepada Allah SWT atas fitrah dari hati yang paling dalam.
Tidak hanya ketika ‘Ied, saat walimah (nikah) pun dianjurkan memeriahkannya dengan hiburan yang mengungkapkan dan mengundang rasa bahagia.[1] Inilah bukti Islam sebagai agama fitrah, yang sesuai dengan kebutuhan batin kita sebagai manusia.
Salah satu makna syukur adalah menampakkan (iz-har) nikmat di hadapan Al-Mun’im
(Pemberi nikmat). Memperlihatkan wajah yang berseri dengan hati yang
bahagia adalah salah satu bukti syukur. Adalah hal yang pantas jika kita
berbahagia ketika Allah menembalikan kita kepada kesucian.
Kebahagiaan
yang sesungguhnya adalah bukan terletak pada kekayaan, jabatan,
prestise, penghargaan manusia, tetapi kenikmatan Iman, Islam dan Ihsan
yang diberikan kepada manusia.
Pengertian
dikembalikan kepada kesucian (I’edul Fitri) menunjukkan bahwa sebagai
manusia selama ini kita sering lari dan tergelincir dari jalan Allah.
Sehingga pada hari raya Allah mengembalikan lagi track kehidupan
manusia kepada kondisi lahir dan batin yang orsinil (asli) serta bebas
dari penyimpangan.
Jika
Allah telah memberikan anugerah yang besar dan agung kepada manusia
berupa kondisi fitrah agama, maka di awal bulan Syawal energi positif
(taufik) mengalir untuk menyambung hidayah-Nya dengan membuka lembaran
hidup dan semangat baru dalam meniti jalan Allah yang lurus (shirotol mustaqim) di bawah naungan Al-Quran. Firman Allah SWT:
Berpegang teguhlah kepada apa yang diwahyukan kepada engkau! Sesungguhnya engkau berada di atas jalan yang lurus.
Semoga dikembalikannya kepada fitrah,
kita dapat menjalani kehidupan ini dengan spirit (semangat) keimanan,
keislaman dan keihsanan dalam meniti jalan yang lurus, walaupun
tantangan dan rintangan tidak pernah surut. Allah akan memberikan jalan
keluarnya.
Kebahagiaan
yang hakiki itu ada pada diri kita yang paling dalam ketika kita
beriman dan bersyukur kepada Allah SWT. Setiap pribadi manusia dapat
merasakan kegembiraan dan riangnya hati, karena hati itu adalah lautan
syukur kepada Allah. Harta kekayaan memiliki batas, sedangkan kedalaman
hati dengan kebahagiaannya tidak terbatas.
Seseorang
yang memiliki mobil 5, tidak bisa dibawa semua ke mana-mana sekaligus.
Begitu pula rumah, tanah atau harta benda lainnya. Tapi lautan kebahagiaan yang ada dalam hati itu bisa dibawa ke mana-mana. Ketika di masjid bertambah teguh keimanannya [liyazdaaduu iimaanam ma’a iimaanihim].[2]
Saat ia di kantor keimanannya tambah kuat sehingga tidak korupsi.
Sewaktu di pasar ia tidak mngurangi timbangan karena keimanannya melekat
dalam jiwanya, keimanannya terus membimbing setiap langkah dan
tindakannya dalam keseharian.
Saat
ini mari kita rasakan kesyahduan hati kita, betapa jelas karunia Allah
berupa hidayah dan taufiq yang diberikan kepada kita sebagai bimbingan
Islam. Itulah kesempurnaan nikmat di sisi Allah. [Wa-atmamtu ‘alaykum ni’matii wa rodhiitu lakumul islaama diinaa].[3] Inilah kesempurnaan nikmat yang masuk ke dalam hati kita, cahaya-Nya menyinari kita sehingga infashaha wansyaraha, riang gembira dan bahagia hakiki yang tanpa batas.
[1]
قَالَتْ
الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى
فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ
بِالدُّفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِذْ
قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ
دَعِي هَذِهِ وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ
Telah
menceritakan Ar Rubayyi' binti Mu'awwidz bin 'Afran berkata; suatu
ketika, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masuk saat aku membangun
mahligai rumah tangga (menikah). Lalu beliau duduk di atas kasurku,
sebagaimana posisi dudukmu dariku. Kemudian para budak-budak wanita pun
memukul rebana dan mengenang keistimewaan-keistimewaan prajurit yang
gugur pada saat perang Badar. Lalu salah seorang dari mereka pun
berkata, "Dan di tengah-tengah kita ada seorang Nabi, yang mengetahui
apa yang akan terjadi esok hari." Maka beliau bersabda: "Tinggalkanlah
ungkapan ini, dan katakanlah apa yang ingin kamu katakan." (HR. Bukhari No. 4750)
[2] هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿الفتح: ٤﴾
Dialah
yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin
supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah
ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah
Mengetahui lagi Bijaksana. (Q.S. Al-Fath: 4)
[3] (Q.S. Al-Maidah: 3).