1. Pengertian Perkembangan Keberagamaan
Sebelum
membahas apa yang dimaksud dengan perkembangan keagamaan anak terlebih
dahulu penulis kemukakan pengertian perkembangan. Perkembangan dapat
diartikan sebagai the progressive and continuous change in the organism from birth to death (suatu
perubahan yang progesif dan kontinu dalam diri individu dari mulai
lahir sampai mati). Perkembangan dapat juga diartikan sebagai
perubahan-perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju
tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturtion) yang
berlangsung secara sistematis (saling kebergantungan atau saling
mempengaruhi antara bagian-bagian organisme dan merupakan suatu kesatuan
yang utuh), progresif (bersifat maju, meningkat dan mendalam baik
secara kuantitatif maupun kualitatif) dan berkesinambungan (secara
beraturan, berurutan, bukan secara kebetulan) menyangkut fisik maupun
psikis.[1]
Sedangkan keberagamaan yang penulis maksudkan di sini adalah sifat-sifat yang terdapat dalam agama.[2]
Atau dengan kata lain keberagamaan adalah yang menyangkut segala aspek
kehidupan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang.
Keberagamaan
dapat diwujudkan dalam sisi kehidupan manusia. Aktifitas agama bukan
hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual beribadah,
tetapi juga melakukan perilaku yang bernuansa ibadah. Keberagamaan
berkaitan dengan aktifitas yang tampak terjadi dalam hati seseorang.
Dari
keterangan tersebut dapat penulis simpulkan bahawa perkembangan
keberagamaan adalah perkembangan yang bersifat sistematias dan
berkesinambungan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang.
2. Ruang Lingkup Keberagamaan
Menurut Glock dan Stark sebagaimana dikuitip oleh Taufik Abdullag, berpendapat bahwa keberagamaan muncul dalam lima
dimensi diantaranya dimensi ideologis, intelektual, eksperiensial,
ritualistik, dan konsekuensial. Dua dimensi yang pertama mencakup aspek
kognitif keberagamaan, dua dimensi yang terakhir aspek behavioral
keberagamaan dan dimensi ketiga aspke afekstif keberagamaan.[3]
Kelima
dimensi tersebut dapat dibedakan dalam setiap dimensinya meliputi aneka
ragam dan unsur-unsur lainnya seperti dalam bentuk keyakinan, praktik,
pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-konsekuensi.[4] Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1) Dimensi ideologis
Berkenaan
dengan seperangkat kepercayaan yang memberikan “premis eksistensial”
untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan antara mereka.
Kepercayaan dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan dan peranan
manusia dalam mencapai tujuan itu (puposive belief). Kepercayaan yang terakhir, dapat berupa pengetahuan tentang seperangkat tingkah laku baik yang dikehendaki agama.
2) Dimensi intelektual
Dimensi
ini mengacu pada pengetahuan agama yang harus diketahui seseorang
tentang ajaran-ajaran agamanya. Peneliitan ini dapat diarahkan untuk
mengetahui seberapa jauh tingkat pemahaman agama para pengikut agam atau
tingkat ketertarikan mereka untuk mempelajari agamanya. Hal ini mengacu
pada harapan bahwa seseorang yang beragama minimal memiliki sejumlah
pengetahuan mengenai dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan
tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah
syarat bagi penerimanya, walaupun keyakinan tersebut tidak perlu diikuti
oleh syarat keyakinan. Seseorang dapat memiliki keyakinan kuat tanpa
benar memahami agama / kepercayaan atas dasar pengetahuan yang sedikit.
3) Dimensi eksperiensial
Dimensi
eksperiensial merupakan bagian keagamaan yang bersifat efektif, yaitu
keterlibatan emosional dan sentimentil pada pelaksanaan ajaran agama
yang merupakan perasaan keagamaan (religion feeling) sehingga dapat bergerak dalam beberapa tingkat yakani; konfirmatif (merasakan kehadiran Tuhan menjawab kehendaknya atau keluhannnya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh cinta dengan Tuhan), dan partisipasif (merasa menjadi kawan setia kekasih), atau wali Tuhan-Nya melakukan karya ilmiah.[5]
4) Dimensi ritualistik
Dimensi
ritualistik yaitu merujuk pada ritualistik / ritus-ritus keagamaan yang
dianjurkan oleh agama dan dilaksanakan para pengikutnya. Dimensi ini
terdiri dari dua kelas penting, yaitu:
a. Ritual
Mengacu
pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik suci yang
semua mengharapkan pemeluknya dapat melaksanakan. Ritual merupakan
suatu bentuk drama dan oleh karena itu merefleksikan kegembiraan dari
satu ke yang lainnya.[6]
b. Ketaatan
Ketaatan
dan ritual diibaratkan air, meski ada perbedaan penting, semua agama
yang dikenal mempunyai perangkat tindakan persembahan dan kontemplasi
personel yang relatif.
5) Dimensi konsekuensial
Meliputi
segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama. Konsekuensi
komitmen agama berbeda dengan keempat dimensi di atas. Dimensi ini
mengacu kepada identifikasi akibat keyakinan praktik, pengalaman dan
pengetahuan seseorang dari hari ke hari, walaupun agama banyak
menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak
dalam kehidupan sehari-hari.
3. Indikator-indikator Perkembangan Keberagamaan
1) Bidang akidah
Islam
menempatkan pendidikan akidah pada posisi yang paling mendasar, yakni
terposisikan dalam rukun yang pertama dari rukun Islam yang lima,
sekaligus sebagai kunci yang membedakan antara orang lslam dengan non
Islam. Lamanya waktu dakwah Rasul dalam rangka mengajak umat agar
bersedia mentauhuidkan Allah menunjukkan betapa penting dan mendasarnya
pendidikan akidah islamiah bagi setiap umat muslim pada umumnya.
Terlebih pada kehidupan anak, maka dasar-dasar akidah harus
terus-menerus ditanamkan pada diri anak agar setiap perkembangan dan
pertumbuhannya senatiasa dilandasi oleh akidah yang benar.[7]
2) Bidang ibadah
Tata
peribadatan menyeluruh sebagaimana termaktub dalam fiqih Islam itu
hendaklah diperkenalkan sedini mungkin dan sedikit dibiasakan dalam diri
anak. Hal itu dilakukan agar kelak mereka tumbuh menjadi insan yang
benar-benar takwa, yakni insan yang taat melaksanakan segala perintah
agama dan taat pula menjauhi segala larangannya.[8] Ibadah sebagai realisasi dari akidah islamiah harus tetap terpancar dan teramalkan denga baik oleh setiap anak.
3) Bidang akhlak
Akhlak
merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani,
pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu
kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian.[9] Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral (moralsence),
yang terdapat di dalam diri manusia sebagai fitrah, sehingga ia mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang bermanfaat dan
mana yang tidak berguna, mana yang cantik dan mana yang buruk.
Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, jama’ dari “khuluqun” yang menurut bahasa diartikan sebagai: budi pekerti, perangai, tabiat, adat dan sebagainya.[10] Menurut Erwati Aziz secara lughawi konotasi kata ini dapat berarti baik atau buruk.[11]
Humaidi Tatapangarsa mengutip Ibnu Ashir dalam bukunya “an-Nihayah” diterangkan hakikat makna khuluk itu adalah “gambaran batin manusia yang tepat yaitu (jiwa dan sifat-sifat)”. Sedangkan khalku merupakan bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi rendahnya tubuh)”.[12]
Dari
keterangan di atas dapat penulis simpulkan bahwa akhlak adalah adalah
perbuatan-perbuatan yang muncul secara spontan sebagai pencerminan
keadaan jiwa. Sedangkan perbuatan-perbuatan tersebut ada yang baik dan
ada yang buruk.
Adapun
tujuan akhlak adalah agar setiap orang berbudi pekerti, bertingkah
laku, berperangai yang baik terhadap sesama manusia, terhadap sesama
makhluk dan terhadap Allah SWT. Yang pada akhirnya agar mendapatkan
ridla dari Allah SWT (mardlatillah).
Oleh
karena itu dalam rangka menyelamatkan dan memperkokoh akidah Islamiah
anak, pendidikan anak harus dilengkapi dengan pendidikan akhlak yang
memadahi.[13]
[1] Pengertian perkembangan ini bisa dilihat dalam H. Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002). Lihat juga dalam Netty Hartaty, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 14.
[2] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustka, 1986), hlm. 191.
[3] Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1989), hlm. 93.
[4] Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologias, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 295.
[5] Taufik Abdullah, loc. cit.
[6] Andrew M. Greeley, Agama Suatu Teori Sekuler, (Jakarta: Erlangga, 1988), hlm. 96.
[7] M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hlm. 95.
[8] Ibid., hlm. 102.
[9] Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 1995), hlm. 10.
[10] Erwati Aziz, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Mandiri, 2003), hlm. 100.
[11] Ibid.
[12] Humaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlak, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), hlm. 7.