Menanti Kebangkitan Majapahit Ke 2
Ada pula alun-alun, rumah- rumah menteri, rumah budha beratap tiga, ada
kuil siwa, penangkilan pujangga dan meteri, manguntur serta ada
pasebanya. Demikian bentuk lanskip Istana Majapahit menurut pandangan
Imam Mubarok M. S.Sos.I berdasarkan beberapa kitab kuno seperti, Negara
Kertagama dan Pararaton (kitab Raja-raja).
Kemegahan dan keindahan Istana Majapahit tertulis dalam kitab Negara
Kertagama mulai pupuk ke-19 sampai pupuh ke-42. "Di Negara Kertagama,
pupuk 42 dijelaskan, ibarat bulan, matahari di Majapahit indah tiada
tara. Perumahan-perumahan tertata mengelompok amat rapi. Bagai cahaya
bintang kerajaan, bagi yang lain terutama Dhaha. Jadi, Dhaha (Kerajaan
Kediri) adalah Negara kedua setelah Majapahit," ujar pria yang menjadi
salah satu Pengasuh Pesantren Budaya Nusantara ini.
Tentang keindahan Majapahit tersebut mengilhami sesuatu yang luar biasa.
Salah satu adalah gaib. Bangunan Majapahit terdiri dari dua jenis, ada
yang semi permanen dan ada pula yang permanen. Bangunan berbentuk kayu,
tetapi ada bangunan yang berupa batu. Kemudian kenapa semua itu
menghilang atau seakan-akan ditelan bumi?
Menurut kacamata batin Dosen Fakultas Dakwah Institut Agama Islam
Tribakti (IAIT) Lirboyo Kediri ini, ada beberapa faktor, ada praloyo
atau semacam gempa bisa juga semacam bencana alam yang mengakibatkan ini
hilang. Oleh karena itu, ia yakin, kebangkitan Majapahit ini adalah
suatu kebangkitan yang akan muncul, pada saatnya nanti.
"Beberapa orang teman telah membuat maping (pemetaan) terhadap temuan
peninggalan Majapahit. Mereka bisa melakukan itu. Tetapi masih belum
saatnya untuk dibuka. Namun, pada suatu saatnya nanti akan dibuka. Tidak
hanya itu di Kediri (peninggalan Kerajaan Kadiri) juga banyak. Nanti
akan dibuka dan kita akan menyaksikannya sendiri.
Kekhawatiran, apabila ini dibuka sekarang, maka akan menjadi rebutan
beberapa orang," terang Barok, begitu sapaan sehari-harinya. Ia sangat
mengapresiasi program restorasi bekas kerajaan Majapahit yang dilakukan
oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jawa Timur.
Kebanyakan orang berpendapat bahwa Kerajaan Majapahit mengalami
keruntuhan. Tetapi pria yang menekuni dunia Tosan Aji ini mengungkapkan,
masing-masing raja di dalam pemerintahan Majapahit mengalami beberapa
perpindahan dari satu tempat ke tempat lain.
Masing-masing raja membuat keraton-keraton baru. Tidak hanya di satu
tempat, tetapi mereka melakukan semacam pengembangan kerajaan baru. Kita
ketahui bersama bahwa Majapahit mengalami beberapa raja diantaranya,
Raden Wijaya, Jaya Negara, Tribuana Tungga Dewi, Hayam Wuruk, Wikrama
Wardana, Suhita, Diah Kerta Wijaya, Rajasa, Wardana, Girih Ha Wardana,
Singhawui Krama, Werdana, Bri Kertabumi Girindra Wardana, Diah
Kanawijaya.
Majapahit merupakan salah satu kerajaan besar di Jawa Timur dan
Indonesia. Selain kemashurannya dalam bidang penataan pemerintahan, juga
terkenal dengan pusaka-pusakanya yang beryoni (berkualitas) tinggi.
Konon, pusaka peninggalan Majapahit lebih ampuh dibanding pusaka
peninggalan Kerajaan Mataram. Hal itu bisa dibuktikan dari sebagian
pusaka peninggalan pusaka Majapahit diwarisi oleh kerajaan-kerajaan
setelahnya seperti, Demak, Pajang dan Mataram. Dan kini sebagian pusaka
peninggalan tersebut berada di Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Kyai Sengkelat adalah keris pusaka luk tiga belas yang diciptakan pada
jaman Majapahit (1466 - 1478), yaitu pada masa pemerintahan Prabu
Kertabhumi (Brawijaya V). Keris ini karya Mpu Supa Mandagri, salah satu
santri Sunan Ampel. Konon bahan untuk membuat Kyai Sengkelat adalah cis,
sebuah besi runcing untuk menggiring onta. Konon, besi itu didapat
Sunan Ampel ketika sedang bermunajat.
Ketika ditanya besi itu berasal darimana, dijawab lah bahwa besi itu
milik Muhammad SAW. Besi itu kemudian diberikan kepada Mpu Supa untuk
dibuat menjadi sebilah pedang. Namun sang mpu merasa sayang jika besi
tosan aji ini dijadikan pedang, maka dibuatlah menjadi sebilah keris luk
tiga belas dan diberi nama Kyai Sengkelat.
Setelah selesai, diserahkannya kepada Sunan Ampel. Sang Sunan menjadi
kecewa karena tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Menurutnya,
keris merupakan budaya Jawa yang berbau Hindu, seharusnya besi itu
dijadikan pedang yang lebih cocok dengan budaya Arab, tempat asal agama
Islam. Maka oleh Sunan Ampel disarankan agar Kyai Sengkelat diserahkan
kepada Prabu Brawijaya V. Ketika Prabu Brawijaya V menerima keris
tersebut, sang Prabu menjadi sangat kagum akan kehebatan keris Kyai
Sengkelat. Dan akhirnya keris tersebut menjadi salah satu piyandel
(maskot) kerajaan dan diberi gelar Kangjeng Kyai Ageng Puworo, mempunyai
tempat khusus dalam gudang pusaka keraton.
Kemudian, sebagian pusaka-pusaka itu diantara sengkelat tersebut
diwariskan ke Kerajaan Demak, setelah runtuh diwariskan ke Pajang hingga
ke Kerajaan Mataram. Bahkan, pada tahun 1755, atau yang dikenal dengan
Perjanjian Gianti, Sengkelat ini menjadi rebutan juga antara Kasultanan
Yogyakarta dan Surakarta. Istilahnya namanya Palihan Negari. (perebutan
Sengkelat). Akhirnya Surakarta mewarisi pusaka berwujud keris dan
Yogyakarta rata-rata memiliki tombak atau lebih dikenal dengan Kanjeng
Kiai Singkelat itu turun di Surakarta dan Kanjeng Kiai Pleret jatuh ke
Keraton Yogyakarta.
Lalu yang menjadi pertanyaan kenapa sebenarnya keris Majapahit itu
sakti? Barok menjawab karena memang empu-empu pembuat pusakanya sakti.
Bukan sembarang orang yang membuat pusaka itu. Toh pun juga dari sisi
agama bahwa, keris atau pusaka itu adalah sesuatu yang sangat hebat.
Berdasarkan Al- Qur' an surat Al Habid ayat 25. "Dan kami ciptakan besi
yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia, supayamereka memepergunakan besi itu, dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong agama dan rosulnya, padahal Allah tidak
dilihatnya. Sesungguhnya Allah maha kuat dan maha melihat".
"Jadi, besi dalam Al-Qur 'an dinyatakan sesuatu yang hebat. Kemudian
ditirakati orang terdahulu, menjadikan semakin luar biasa. Bedanya
dengan keris yang sekarang, seperti keris Mataram, si empu tidak
melakukan ritual hebat seperti yang dilakukan oleh empu-empu terdahulu,
seperti ketika kerajaan Majapahit. Bedanya cuma itu saja. Kalau
sekarang, keris baru hanya mengandalkan istilahnya Eksoterinya
(keindahan bentuknya), bukan Isoteri dari apa yang ada didalamnya atau
istilahnya yoninya. Kalau kita melihat peninggalan di Kerajaan
Mahjapahit yang sebagian ada Surakarya, keris mereka adalah keris
notabene keris tidak begitu indah dalam bentuk pamor. Namun dapurnya
bagus karena keris kraton. Cuma bentuk pamornya, orang milih gemerlapan
indah dan sebagainya, tetapi keris peninggalan Majapahit sangat
sederhana. Seperti pamor wosuta. Menujukkan seperti itu, keris ini tetap
mengayomi dari sejak Majapahit hingga sekarang," katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Andi Riewanto SS.SE.MBA, Ketua Guru Besar
Padepokan Matahari Kediri. "Pada saat kerajaan Majapahit berdiri masih
dalam keadaan berperang. Sehingga para empu-empunya membuat pusaka
benar-benar dengan doa untuk pertahanan dan untuk kekuatan dalam.
Yoninya besar. Karena pada saat itu masih bergolak. Tetapi pada saat era
Kerajaan Mataram, dimana waktu itu rajanya Sultan Agung, memerintahkan
kepada empunya untuk berkarya. Konsentrasinya di seni, sehingga doanya
kurang. Keris Majapahit lebih sederhana, tetapi yoninya ngidap-ngidapi
(besar). Tetapi keris era Mataram besinya biasanya, bagus pamornya,
tetapi yoninya kalah jauh," ungkap Gus Atot, panggilan akrab Andi
Riefandi, sehari-hari.
Gus Atot juga melihat dari kacamata spiritual bahwa, peninggalan
kerajaan Majapahit sebenarnya masih ada, sekitar 30-40 persen. Berupa
bangunan fisik seperti, pondasi dan dinding-dinding. Seiring dengan
berjalannya waktu, ia yakin ahli arkeolog mampu menemukan kembali
bangunan yang sudah tertelan zaman baik, karena bencana alam maupun
faktor lain tersebut. Terutama adalah sisa-sisa seperti, candi dan
prasasti. Tetapi, kebanyakan pelaku spiritual, imbuh Gus Atot, kadang
kala terjebak oleh makhluk gaib penunggu benda-benda peninggalan
tersebut. Sehingga mereka menganggap bahwa istana Majapahit masih
terlihat sangat megah.
Pada saat Majapahit diperintah Brawijaya, sebagai penguasa terakhir yang
beragama Hindu (1453-1478) masyarakat mengenal sosok nama yaitu Sabdo
Palon, seorang pandita dan sekaligus penasihat. Tidak diketahui apakah
tokoh ini benar-benar ada, namun namanya disebut-sebut dalam Serat
Darmagandhul, suatu tembang macapat kesusastraan Jawa Baru berbahasa
Jawa ngoko. Dalam Serat tersebut, disebutkan bahwa Sabdapalon tidak bisa
menerima sewaktu Brawijaya digulingkan pada tahun 1478 oleh tentara
Demak dengan bantuan dari Walisongo. Ia lalu bersumpah akan kembali
setelah 500 tahun, bencana melanda, untuk menyapu Islam dari Jawa dan
mengembalikan kejayaan agama dan kebudayaan Hindu (dalam Darmagandhul,
agama orang Jawa disebut agama Buda).
Serat Damarwulan dan Serat Blambangan juga mengisahkan tokoh ini. Tokoh
Sabdapalon dihormati di kalangan revivalis Hindu di Jawa serta di
kalangan aliran tertentu penghayat kejawen. Patung untuk menghormatinya
dapat dijumpai di Candi Ceto, Jawa Tengah. Sabdapalon seringkali
dikaitkan dengan satu tokoh lain, Nayagenggong, sesama penasehat
Brawijaya V. Sebenarnya tidak jelas apakah kedua tokoh ini orang yang
sama atau berbeda.
Ada yang berpendapat bahwa keduanya merupakan penggambaran dua pribadi
yang berbeda pada satu tokoh. Secara hakekat nama "Sabdo Palon, Noyo
Genggong" adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu - Budha
(Syiwa Budha). Menurut kacamata Gus Atot, tokoh Sabdo Palon sebagai
penyeimbang. Dia berasal dari gaib yang ikut memecahkan segala persoalan
kala itu. Dia berdiri di tengah-tengah kebaikan dan keburukan.
Di sisi lain, sesuai keyakinan Raden. Karyosudiro, paranormal asal
Kabupaten Blitar, jangka sabdo palon adalah benar adanya. Pria paruh
baya yang telah melakukan ritual puasa pendam selama 40 hari di dalam
tanah dan bertemu dengan para raja-raja tanah Jawa ini mengatakan, pada
saatnya nanti akan turun seorang ratu adil sebagai penyelaras,
penyeimbang kegaduhan di tanah Jawa dan Nusantara seperti ramalan Sabdo
Palon, "Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Islam
dengan Kawruh Budi, saya sebar seluruh tanah Jawa. Bila ada yang tidak
mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan
lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan.
Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak
Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya".