1. Pengertian Jiwa
Secara bahasa jiwa berasal dari kata psyche yang berarti jiwa, nyawa atau alat untuk berfikir.[1] Sedang dalam bahasa Arab sering disebut dengan “an nafs”.[2] Imam Ghazali mengatakan bahwa jiwa adalah manusia-manusia dengan hakikat kejiwaannya. Itulah pribadi dan zat kejiwaannya.[3]
Sedangkan menurut para filosof pengikut plotinus (para filosof Yunani),
sebagaimana yang dikutip oleh Abbas Mahmud Al Aqqad dalam Manusia Diungkap Dalam Al Qur’an,
bahwa jiwa menurut mereka adalah sinonim dengan gerak hidup / kekuatan
yang membuat anggota-anggota badan menjadi hidup yakni kekuatan yang
berlainan fisik material, dapat tumbuh beranak, dan berkembangbiak
tingkat kemauannya lebih besar dari pada benda tanpa nyawa dan lebih
kecil daripada roh, jiwa tidak dapat dipindah dari tempat ia berada.[4]
Kemudian
dilihat dari kacamata psikologi, menurut Wasty Soemanto, jiwa adalah
kekuatan dalam diri yang menjadi penggerak bagi jasad dan tingkah laku
manusia, jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong tingkah laku. Demikian dekatnya fungsi jiwa dengan tingkah laku, maka berfungsinya jiwa dapat diamati dari tingkah laku yang nampak.[5]
Dari
sejumlah pemaparan di atas dapat diambil pemahaman bahwa jiwa adalah
merupakan unsur kehidupan, daya rohaniah yang abstrak yang berfungsi
sebagai penggerak manusia dan menjadi simbol kesempurnaan manusia. Karena manusia yang tidak memiliki jiwa tidak dapat dikatakan manusia yang sempurna.
Jiwa menumbuhkan sikap dan sifat yang mendorong pada tingkah laku yang tampak. Karena cara-cara kerja jiwa hanya dapat di amati melalui tingkah laku yang nyata. Adapun pengertian jiwa di sini meliputi seluruh aspek rohani yang di miliki oleh manusia, antara lain ; hati, akal, pikiran dan perasaan.
2. Pengertian Ketenangan Jiwa
Kata ketenangan jiwa terdiri dari kata ketenangan dan jiwa. Sedangkan kata ketenangan itu sendiri berasal dari kata tenang yang mendapat sufiks ke-an. Tenang berarti
diam tak berubah-ubah (diam tak bergerak-gerak); tidak gelisah, tidak
rusuh, tidak kacau, tidak ribut, aman dan tenteram (tentang perasaan
hati, keadaan dan sebagainya). Tenang, ketenteraman hati, batin,
pikiran.[6]
Sedangkan jiwa adalah seluruh kehidupan batin manusia yang menjadi unsur kehidupan,
daya rohaniah yang abstrak yang berfungsi sebagai penggerak manusia dan
menjadi simbol kesempurnaan manusia (yang terjadi dari hati, perasaan,
pikiran dan angan-angan). Kata ketenangan jiwa juga dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri, dengan orang lain,
masyarakat dan lingkungan serta dengan lingkungan di mana ia hidup.
Sehingga orang dapat menguasai faktor dalam hidupnya dan menghindarkan
tekanan-tekanan perasaan yang membawa kepada frustasi.[7]
Jadi
ketenangan jiwa atau kesehatan mental adalah kesehatan jiwa,
kesejahteraan jiwa, atau kesehatan mental. Karena orang yang jiwanya
tenang, tenteram berarti orang tersebut mengalami keseimbangan di dalam
fungsi-fungsi jiwanya atau orang yang tidak mengalami gangguan
kejiwaan sedikitpun sehingga dapat berfikir positif, bijak dalam
menyikapi masalah, mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi
serta mampu merasakan kebahagiaan hidup.
Hal
tersebut sesuai dengan pandangan Zakiah Daradjat bahwa kesehatan mental
adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara faktor
jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang
biasa terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan
dirinya.[8]
Kartini Kartono mengatakan, bahwa mental hygiene memiliki
tema sentral yaitu bagaimana cara orang memecahkan segenap keruwetan
batin manusia yang ditimbulkan oleh macam-macam kesulitan hidup, serta
berusaha mendapatkan kebersihan jiwa dalam pengertian tidak terganggu
oleh macam-macam ketegangan, ketakutan serta konflik.[9]
Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa orang yang sehat mentalnya atau tenang
jiwanya adalah orang yang memiliki keseimbangan dan keharmonisan di
dalam fungsi-fungsi jiwanya, memiliki kepribadian yang terintegrasi
dengan baik, dapat menerima sekaligus menghadapi realita yang ada, mampu
memecahkan segala kesulitan hidup dengan kepercayaan diri dan
keberanian serta dapat menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan
lingkungannya.
Jadi
orang yang tenang jiwanya adalah orang yang fungsi-fungsi jiwanya dapat
berjalan secara harmonis dan serasi sehingga mumunculkan kepribadian
yang terintegrasi dengan baik, sebab kepribadian yang terintegrasi
dengan baik dapat dengan mudah memulihkan macam-macam ketegangan dan
konflik-konflik batin secara spontan dan otomatis, dan mengatur
pemecahannya menurut prioritas dan herarkinya, sehingga dengan mudah
akan mendapat kan keseimbangan batin, dan jiwanya ada dalam keadaan
tenang seimbang.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketenangan Jiwa
Semua orang ingin menjalani kehidupannya dengan penuh kebahagiaan dan ketenangan lahir dan batin. Adapun jiwa yang tenang, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur’an surat AL-Fajr ayat 27-28:
يآيُّهَاالنَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ.لا ارْجِعِىْ اِلىَ رَبِّكَ رَاضِيَّةً مَّرْضِيَّةً.ج {الفجر: 27-28}
Hai jiwa yang tenang kembalilah Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.[10] (QS. al-Fajr: 27-28)
Dari
ayat di atas dapat diketahui bahwa manusia yang memiliki jiwa yang
tenang akan mendapatkan kebahagiaan di sisi Allah SWT., dan akan dimasukkan ke dalam surga-Nya, dengan demikian segala yang dilakukannya hanya semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT., serta apa
yang dilakukannya dipikir dahulu, apakah sudah sesuai dengan perintah
Allah SWT atau tidak, sehingga semua perbuatannya akan bermanfaat karena
disandarkan dengan niat untuk mencari ridha Allah SWT semata. Ia
lebih menginginkan hal-hal yang bersifat rohaniah, yang bisa mengisi
jiwanya dan tidak cenderung mengejar kelezatan duniawi yang bersifat
jasmaniah. Orang semacam ini jika dikaruniai kekayaan, tidak mengambil
selain apa yang menjadi haknya sendiri, dan apabila ditimpakan kepadanya
musibah bersabar serta bertawakkal kepada Allah SWT.
Menurut
imam Ghazali jiwa yang tenang ialah jiwa yang diwarnai dengan
sifat-sifat yang menyebabkan selamat dan bahagia. Di antaranya adalah
sifat-sifat syukur, sabar, taklut siksa, cinta Tuhan, rela akan hukum
Tuhan, mengharapkan pahala dan memperhitungkan amal perbuatan dirinya
selama hidup, dan lain-lain. Sifat-sifat yang menyebabkan selamat.[11]
Menurut
Zakiah Daradjat dan Kartini Kartono ada beberapa faktor yang
mempengaruhi ketenangan jiwa di mana orang yang ingin mencapai
ketenangan jiwa harus memenuhi beberapa faktor tersebut antara lain:
a. Faktor agama
Agama
adalah kebutuhan jiwa (psikis) manusia, yang akan mengatur dan
mengendalikan sikap, kelakuan dan cara menghadapi tiap-tiap masalah.[12]
Demikian
juga dalam agama ada larngan yang harus dijauhi, karena di dalam nya
terdapat dampak negatif dari kehidupan manusia. Orang yang beriman dan
bertaqwa kepada Allah SWT secara benar, di dalam hatinya tidak akan
diliputi rasa takut dan gelisah. Ia merasa yakin bahwa keimanan dan
ketaqwaannya itu aklan membawa kelegaan dan ketenangan batinnya. Firman
Allah SWT:
الَّذِيْنَ امَنُوْا وَعَمِلُوا الصّلِحتِ طُوْبى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ. {الرّعد: 29}
Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.[13] (QS. ar-Ra’d: 29)
Pelaksanaan
agama (ibadah) dalam kehidupan sehari-hari dapat membentengi orang dari
rasa gelisah dan takut. Diantara dari berbagai macam ibadah yanbg ada
yaitu shalat secara psikologis semakin banyak shalat dan menggantungkan
harapan kepada Allah SWT maka akan tenteramlah hati, karena dalam shalat
itu sendiri mengandung psiko-religius (kekuatan rohaniah) yang dapat
membangkitkan rasa percaya diri dan rasa optimisme sehingga memiliki
semangat untuk masa depan. Daripada itu tujuan utama dari shalat adalah
ingin beraudiensi, mendekatkan diri dengan Allah supaya terciptalah
kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.
b. Terpenuhinya Kebutuhan Manusia
Ketenangan
dalam hati dapat dirasakan apabila kebutuhan-kebutuhan manusia baik
yang bersifat fisik maupun psikis terpenuhi. Apabila kebutuhan tersebut
tidak terpenuhi akan mengakibatkan kegelisahan dalam jiwa yang akan
berdampak pada terganggunya ketenangan hidup.
Menurut Katini Kartono kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi oleh manusia adalah:
1) Terpenuhinya
kebutuhan pokok, hal ini karena setiap manusia pasti memiliki
dorongan-dorongan akan kebutuhan pokok. Dorongan-dorongan akan kebutuhan
pokok tersebut menuntut pemenuhan, sehingga jiwa mwnjadi tenangdan akan
menurunkan ketegangan-ketegangan jiwa jika kebutuhan tersebut
terpenuhi.
2) Tercapainya
kepuasan , setiap orang pasti menginginkan kepuasan, baik yang berupa
jasmaniah maupun yang bersifat psikis, seperti kenyang, aman
terlindungi, ingin puas dalam hubungan seksnya, ingin mendapat simpati
dan diakui harkatnya. Pendeknya ingin puas di segala bidang.
3) Posisi
status sosial, setiap individu selalu berusaha mencari posisi sosial
dalam lingkungannya. Tiap manusia membutuhkan cinta kasih dan simpati.
Sebab cinta kasih dan simpati menumbuhkan rasa diri aman, berani
optimis, percaya diri.[14]
Menurut
Zakiah Daradjat ada enam kebutuhan jiwa di mana jika tidak terpenuhi
akan mengalami ketegangan jiwa. Kebutuhan jiwa tersebut adalah:
1) Rasa kasih sayang
2) Rasa aman
3) Rasa harga diri
4) Rasa bebas
5) Rasa sukses
6) Rasa ingin tahu.[15]
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Rasa kasih sayang
Rasa
kasih sayang merupakan kebutuhan jiwa yang penting bagi manusia oleh
karenanya apabila rasa kasih sayang itu tidak didapatnya dari
orang-orang disekelilingnya maka akan berdampak pada keguncangan
jiwanya. Tetapi bagi orang yang percaya kepada Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Penyayang maka kehilangan kasih sayang dari manusia tidak
menjadikan jiwa gersang.
2) Rasa Aman
Rasa
aman juga kebutuhan jiwa yang tidak kalah pentingnya. Orang yang
terancam, baik jiwanya, hartanya, kedudukannya ia akan gelisah yang
berujung pada stres. Apabila ia dekat dengan Allah SWT tentu rasa aman
akan selalu melindungi dirinya.
3) Rasa harga diri
Rasa
harga diri juga merupakan kebutuhan jiwa manusia, yang jika tidak
terpenuhi akan berakibat penderitan. Banyak orang merasa diremehkan,
dilecehkan dan tidak dihargai dalam masyarakat terutama dalam hal harta,
pangkat keturunan, dan lain sebagainya itu tentu perlu dipenuhi. Namun
sebenarnya hakekat itu terletak pada iman dan amal soleh seseorang
4) Rasa bebas
Rasa
ingin bebas termasuk kebutuhan jiwa yang pokok pula. Setiap orang ingin
mengungkapkan perasaannya dengan cara yang dirasa menyenangkan bagi
dirinya. Namun semua itu tentunya ada batas dan aturan yang harus
diikutinya agar orang lain tidak terganggu haknya. Kebebasan yang
sungguh-sungguh hany terdapat dalam hubungan kita dengan Allah SWT
5) Rasa sukses
Rasa
sukses yang merupakan salah satu kebutuhan jiwa. Kegagalan akan membawa
kekecewaan bahkan menghilangkan kepercayaan seseorang kepada dirinya.
Islam mengajarkan agar orang tidak putus asa. Tidak tercapainya suatu
keinginan belum tentu berarti tidak baik. Bahkan kegagalan itu akan
lebih baik kalau manusia mengetahui sebab serta dapat mengambil hikmah
dari kegagalan itu.
6) Rasa ingin tahu
Rasa
ingin tahu juga termasuk kebutuhan jiwa yang pokok yang jika terpenuhi
akan berdampak pada tingkah laku. Orang akan merasa sengsara apabila
tidak mendapatkan informasi atas ilmu yang dicarinya. Namun tidak semua
ilmu itu dapat diketahuinya karena keterbatasan yang ada pada dirinya.
[2] Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta: Hadikarya Agung, 1989), hlm. 462.
[3] Imam Ghazali, Keajaiban Hati, (terj.) Nur Hicmah, Dari Ajaib Al Qalb, (Jakarta: Tirta Mas,1984), hlm. 3.
[5] Wasty Soemanto, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm. 15.
[6] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. iv, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 927.
[8] Ibid., hlm. 13.
[9] Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm 4.
[10] Muhammad Noor, dkk., op. cit., hlm. 475.
[11] Imam Al Ghazali, op. cit., hlm. 123.
[12] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental.cet. IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 52.
[13] Muhammad Noor, dkk., op. cit., hlm. 201.
[14] Kartini Kartono, op. cit., hlm. 29-30.