Dalam
Undang-undang perkawinan yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam yang
menjadi salah satu prinsip dari suatu perkawinan ialah keabsahan, yang
artinya bahwa perkawinan tersebut dianggap sah secara hukum (negara)
apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Pengertian kata “masing-masing” dalam hal ini
menurut Sudirman tertuju kepada agama-agama yang dipeluk di Indonesia, bukannya mengacu pada masing-masing pengantin. Dari perspektif hukum Indonesia ini sudah barang tentu bahwa pernikahan beda agama itu dilarang dalam kerangka hukum Islam Indonesia.
Namun
akhir-akhir ini, timbul banyak pendapat baru yang secara legal
membolehkan pernikahan beda agama dengan argumen larangan kawin beda
agama dalam berbagai kitab tafsir dan fiqh dihasilkan oleh ideologi
politik yang memandang manusia dalam batas-batas agama dimana terlihat
jelas bahwa pelarangan ini untuk menjaga stabilitas, keutuhan dan
terpeliharanya dar al-Islam
(teritori Islam). Dan salah satu yang membuat terobosan lain dalam hal
pembolehan pernikahan beda agama ialah yang dilakukan oleh Pusat Studi
Islam Paramadina, lembaga yang didirikan Nurcholis Madjid 30 Oktober
1986 silam ini dalam Klub Kajian Agama (KKA) ke-200, yang digelar pada
17 Oktober 2003 lalu berani mengeluarkan penafsiran baru atas pernikahan
beda agama.
Oleh
karena melihat fakta yang seperti ini, kita dapat berpendapat bahwa
sudah lama perkawinan antar agama menjadi perdebatan. Dan meskipun
pengakuan legal formal pembolehan hal ini belum tersurat, prakteknya
warga yang melakukan perkawinan beda agama terus bertambah, lantas
bagaimana sebenarnya pandangan hukum dari perspektif fiqh (baca: hukum
Islam). Dalam makalah ini akan dijelaskan global permasalahan dengan
tidak bermaksud untuk menjustifikasi mana yang benar maupun mana yang
salah.
A. Perkawinan Beda Agama (Perspektif Fiqh)
Dalam
hukum Islam, baik dari kandungan al-Qur’an maupun hadits banyak
menyebutkan masalah ini, dan secara tekstual terdapat tiga ayat mengenai
perkawinan muslim dengan non-muslim. Pertama, seperti dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah : 221 yang melarang dengan jelas menikahi wanita-wanita
musyrik dan laki-laki musyrik sebelum mereka itu beriman. Allah
berfirman :
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³•B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Ó‰ö7yès9ur í`ÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³•B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3
“Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun
dia menarik hatimu”. (QS. al-Baqarah: 221)
Asbab al-nuzul dari surat
ini ialah ketika salah seorang sahabat yang bernama Ibnu Mursyid
al-Ghanawi akan mengawini seorang wanita musyrik dengan memohon izin
terlebih dahulu kepada Rasulullah sampai dua kali, setelah kedua kali
Rasulullah berdoa dan turunlah ayat ini.
Dari
ayat ini, secara zahir jelas-jelas melarang wanita maupun laki-laki
muslim untuk menikah dengan calon pasangannya yang musyrik. Musyrik yang
dalam hal ini bisa kita kaitkan dengan seseorang yang melakukan
perbuatan syirik (menyekutukan Allah) salah satu dosa paling besar,
mereka semua itu haram untuk dinikahi oleh semua umat Islam (laki-laki
maupun perempuan). Kedua, dalam surat al-Mumtahanah: 10 yang berisi larangan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki kafir. Teks ayat tersebut :
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãNà2uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# ;NºtÉf»ygãB £`èdqãZÅstGøB$$sù ( ª!$# ãNn=÷ær& £`ÍkÈ]»yJƒÎ*Î/ ( ÷bÎ*sù £`èdqßJçFôJÎ=tã ;M»uZÏB÷sãB Ÿxsù £`èdqãèÅ_ös? ’n<Î) Í‘$¤ÿä3ø9$# ( Ÿw £`èd @@Ïm öNçl°; Ÿwur öNèd tbq=Ïts† £`çlm; ( Nèdqè?#uäur !$¨B (#qà)xÿRr& 4
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka”.
Walaupun
teks ayat tersebut menyebutkan wanita beriman sebelumnya telah
berkumpul dengan suaminya yang kafir dan tetapi kemudian berpaling
darinya, lalu hijrah ke dalam kaum muslim. Tetapi secara tersirat jelas
juga bahwa wanita-wanita yang beriman (kuat imannya) itu haram untuk
dinikahi oleh laki-laki kafir musyrik, yang menurut Ibnu Katsir dalam
tafsirnya “orang kafir” yang dimaksud dalam ayat ini ialah kafir Makkah.
Dan kalimat sepenggal dari potongan ayat di atas menguatkan lagi wanita
beriman yang keimanannya telah kuat haram dinikahi oleh laki-laki
kafir.
Ketiga, terdapat dalam surat
al-Maidah : 5, yang kandungan ayatnya berisi ketentuan tentang
diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab, ayat tersebut berbunyi:
tPöqu‹ø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh‹©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s%
“Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu”
Dari
ayat ini memang jelas bahwa laki-laki muslim boleh menikahi perempuan
ahli kitab. Dan setelah turunnya ayat ini, banyak sebagian sahabat yang
menikahi wanita-wanita ahli kitab, seperti Usman bin Affan kawin dengan
Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin Ubaidillah
dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin dengan perempuan
Yahudi di Madyan, bahkan Rasulullah saw pun pernah menikahi perempuan
ahli kitab yaitu Nabi Maria Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan Sophia
yang Yahudi.
Namun
masalah pernikahan ahli kitab ini terdapat masalah pokok, ialah yang
pertama siapakah yang dimaksud ahli kitab kalau dikaitkan dengan konteks
sekarang? Sebelumnya terlebih dahulu kita lihat definisi ulama mengenai
ahli kitab ini. Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama fiqh, seperti
dikutip Zainun (dosen UIN Syarif Hidayatullah), berpendapat bahwa
siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau salah satu kitab suci
yang pernah diturunkan oleh Allah, maka ia termasuk ahlul kitab. Rasyid
Ridha bahkan menegaskan bahwa Majusi, Sabian, Hindu (Brahmanisme),
Budha, Konghucu, Shinto dan agama-agama lain dapat dikategorikan sebagai
ahli kitab. Namun kiranya pendapat dari Haji Abdullah ini kami rasa
lebih mewakili, beliau berpendapat, apa yang dimaksud dengan ahli kitab
ini ialah seorang yang dapat membuktikan bahwa agamanya mempunyai kitab
yang diturunkan pada seorang Rasul dari keluarga Ibrahim dan agama itu
ialah Islam, Yahudi, Nasrani serta suhuf-suhuf
kepada Nabi/Rasul tertentu. Maka yang dimaksud ahli kitab ialah mereka
yang menganut keyakinan: 1) Iman dan percaya kepada Allah SWT, 2) Iman
dan percaya kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an diturunkan
(sebelum Muhammad saw), 3) Iman dan percaya kepada rasul-rasul Allah
SWT.
Jadi
kita dapat sedikit menarik kesimpulan bahwa ahli kitab itu orang-orang
yang menerima dan mempercayai kitab yang diturunkan Allah kepada
Rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad saw (al-Qur’an) itu ada. Sehingga ini
sesuai dengan konsep pernikahan yang dilakukan sahabat yang pernah nikah
dengan wanita ahli kitab, karena memang di zaman itu ahli kitab itu
masih benar-benar ahli kitab yang hidup sebelum (dekat) al-Qur’an
diturunkan. Sedangkan orang-orang (Yahudi, Nasrani) sekarang tidaklah
dapat disebut sebagai ahli kitab. Mahmud Yunus mengatakan bahwa sekarang
ini tidak ada lagi ahli kitab (kalaupun ada, itupun dalam jumlah yang
sangat sedikit sekali). Terlebih sekarang kitab mereka perjanjian lama
dan perjanjian baru sudah banyak terkontaminasi atau dalam bahasa
lainnya sudah banyak campur tangan manusia.
Terakhir
dapat kita katakan perkawinan beda agama dalam kajian hukum Islam
dilarang dengan ketentuan yaitu pelarangan secara tegas untuk wanita dan
laki-laki muslim yang haram untuk menikahi orang kafir. Kedua,
mengungkapkan pelarangan wanita muslim untuk dinikahkan dengan laki-laki
non-muslim, ketiga ialah dibolehkannya laki-laki muslim menikahi wanita
yang benar-benar ahli kitab.
B. Perkawinan Beda Agama (Perspektif UU Perkawinan dan KHI)
Dengan
ketentuan pasal 2 ayat (1) diakui adanya perbedaan hukum perkawinan
dari agama-agama yang berbeda. Akibatnya di Indonesia ada pluralitas
hukum perkawinan yang berbeda satu dengan lainnya dan telah mendudukkan
hukum berbagai agama di bidang perkawinan. Dalam hal ini UU Perkawinan
menggunakan istilah “Perkawinan Campuran” yang telah sesuai dengan UUD
1945 pasal 29 ayat 2 (kebebasan beragama) yang mengakui adanya
pluralitas agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka perkawinan
campuran dalam negara ini disebabkan oleh bertemunya dua atau lebih
sistem hukum perkawinan yang berlainan sesuai dengan perbedaan agama atau perbedaan kewarganegaraan.
UU
No. 1 tahun 1974 mengatur perkawinan campuran secara tersendiri dan
menganggap perkawinan itu sah apabila dilaksanakan menurut hukum
masing-masing agamanya, yang sesuai dengan pasal 60 ayat (1) sesuai
dengan tata cara hukum agama suaminya.
Sedangkan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 yang diberlakukan
berdasarkan instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 disebutkan bahwa “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seseorang pria dan wanita karena wanita tersebut tidak beragama Islam”. Larangan perkawinan antara agama sebagaimana hal ini didasarkan kepada mashlahah dengan tujuan untuk memelihara agama, jiwa, harta, kehormatan, serta keturunan. Para ulama Indonesia sepakat untuk melarang perkawinan beda agama karena kemudharatannya lebih besar daripada manfaat yang ditimbulkannya.
Perkawinan
beda agama telah menyebabkan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
itu banyak yang menganut hukum agama ibunya daripada agama bapaknya.
Selain dari itu, dari perkawinan antar agama dapat meresahkan karena
hubungan silaturrahim antar keluarga menjadi putus. Oleh karena
kemudharatannya lebih besar yang ditimbulkan dari perkawinan antar-agama
cukup besar daripada manfaatnya, maka sudah selayaknya ketentuan
tersebut dalam pasal 40 KHI Indonesia tetap dipertahankan.
Dilarang melakukan perkawinan antara seorang pria atau wanita Islam dengan wanita atau laki-laki tidak beragama Islam ijma ulama Indonesia
tentang masalah ini harus tetap dipertahankan dan harus ditingkatkan
dalam peraturan perundang-undangan dimasa yang akan datang.
ANALISIS
Konsep nikah beda agama di dalam negara Indonesia tidak diperbolehkan (karena perspektif bahwa beda agama yang dimaksudkan adalah nikah antara orang Islam dengan orang Nasrani).
Dilihat dari mafsadat-maslahat-nya,
seorang laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan yang bukan dari
kalangan muslim akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban
dan tanggungjawab, yaitu mendidik anak-anaknya secara Islam, karena
kesempatan bergaul anak-anak lebih banyak dengan ibunya. Kesulitan itu
akan diperparah lagi apabila istrinya (ibu anak-anak) masih fanatik
terhadap agamanya.
Sedangkan
dilihat dari segi sosial, perkawinan beda agama seringkali dijadikan
media oleh orang-orang bukan muslim untuk melakukan pemurtadan.
KESIMPULAN
Dari
pemaparan singkat ini, sedikitnya kita dapat mengetahui bahwa
perkawinan beda agama terutama dari pandangan hukum Islam (fiqh) adalah
dilarang walaupun dengan berbagai penafsiran-penafsiran yang lebih
liberal ada yang membolehkan perkawinan beda agama, baik itu laki-laki
muslim kepada wanita musyrik ataupun sebaliknya. Dalam perspektif hukum
Islam sedikitnya ada tiga ketentuan pernikahan beda agama itu, pertama
pelarangan kepada semua kaum muslimin baik laki-laki atau perempuan
untuk tidak menikahi calon pasangannya sebelum mereka sama-sama beriman.
Kedua, berisi larangan menikahkan wanita-wanita muslim kepada laki-laki
yang tidak seiman atau kafir, terakhir ialah membolehkan menikahi
perempuan ahli kitab.
Sedangkan
UU Perkawinan yang karena mengandung pluralitas hukum sesuai dengan
undang-undang dasar membolehkan perkawinan beda agama yang dalam UU
Perkawinan disebut “perkawinan campuran” dengan ketentuan pernikahan
dilakukan sesuai dengan adat/tata kebiasaan hukum agama suaminya.
Selanjutnya secara tegas KHI pasal 40 dengan tegas menolak pernikahan
beda agama dalam segala bentuknya, dengan alasan untuk memelihara apa
yang biasa disebut maqasyid al-syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, 2003.
Kartohadprojo, Sudirman, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Pustaka Rakyat, 1959.
Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Muhammad, Muhammad Uwaidah Syaikh Kamil, al-jami’ fil Fiqhi an-Nisa’, Beirut, Lebanon: Daarul Kutub al-Ilmiyah, terjemah Indonesia (Pentj. M. Abdul Ghafar, E.M), Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.
Siddik, Mr. Haji Abdullah, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: 1983.
Subadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LKiS.