Kairo
(MoslemInfo) – Beberapa waktu terakhir ini telah terjadi perang politik
antara institusi Al-Azhar di satu sisi, dengan Ikhwanul Muslimin (IM)
dan Salafi di sisi yang lain. Perang ini terus memanas hingga puncaknya
Rektor Al-Azhar dituntut mundur dari jabatannya setelah terjadi
demonstrasi mahasiswa yang dimotori oleh kader-kader IM dan Salafi pasca
tragedi keracunan sebagian mahasiswa Azhar yang tinggal di asrama
Universitas Al-Azhar. Perang ini awalnya dipicu oleh rapat Majelis
Konstitusi dalam pembentukan undang-undang, dan perbedaan pandangan pada
pasal ke-2 UUD. Al-Azhar tetap teguh pada pendiriannya untuk tetap
membiarkan dan tidak mengubah isi pasal tersebut. Grand Shaikh Al-Azhar
menegaskan bahwa pasal tersebut dapat mengakomodir seluruh kekuatan
politik di Mesir yang sudah pernah diundang Al-Azhar untuk bermusyawarah
dan menghasilkan “Dokumen Al-Azhar”.
Setelah persoalan di atas, perang antara kedua kubu
tersebut beralih ke persoalan pasal 4 UUD dengan usulan agar pemilihan
Grand Shaikh Al-Azhar dipilih oleh Dewan Ulama Senior. Ini untuk
memungkinkan pihak IM dan Salafi untuk menduduki jabatan Grand Shaikh
Al-Azhar dengan terlebih dahulu menguasai keanggotaan di Dewan Ulama
Senior.
Sementara perang terkini adalah dipicu oleh sikap teguh
Al-Azhar untuk menentang Jamaah Islamiyah (Salafi) dan Ikhwanul Muslimin
yang menggunakan mimbar masjid-masjid di Mesir untuk mengeluarkan fatwa
haram pemboikotan pemilu, tidak mematuhi pemimpin, dan memilih kata
‘tidak’ pada referendum atas UUD. Terkait hal ini Grand Shaikh Al-Azhar
secara lantang menegaskan bahwa referendum atas UUD tidak ada kaitannya
sama sekali dengan hukum-hukum syariat; halal dan haram. Beliau meminta
kepada para imam dan dai agar tetap menghormati mimbar-mimbar masjid,
dan menjauhkannya dari perang politik praktis saat ini.
Persoalan obligasi syariah merupakan persoalan yang paling
panas antara pihak Al-Azhar dan Ikhwanul Muslimin. Juga terkait rencana
pemerintah untuk membangun hubungan diplomatik dengan Iran dengan syarat
Iran berhenti mencaci-maki para sahabat. Al-Azhar secara lantang tetap
pada pendiriannya untuk menolak proyek pemerintah terkait obligasi
syariah ini.
Persoalan obligasi syariah ini tidak hanya terhenti pada
kalangan masyayikh Al-Azhar dan kubu politik Islam, bahkan Presiden
Morsi sendiri ikut menegaskan bahwa transaksi ekonomi yang sudah
berjalan di pasar saat ini tidak bertentangan dengan ekonomi Islam atau
obligasi syariah, hanya saja ia menekankan adanya keadilan sosial
terkait hal itu. Bunga yang didapat dari proyek obligasi syariah ini
bukan merupakan riba, namun merupakan kompensasi administratif.
Sementara itu di pihak yang lain, Abdul Ghafar Syukr
Pimpinan Partai ‘Tahaluf Sya’bi Isytiraki” (Aliansi Rakyat Sosialis) dan
Pimpinan Front Penyelamat Nasional Mesir, mengatakan bahwa tragedi
keracunan sebagian mahasiswa Al-Azhar dan lainnya menunjukkan akan
keinginan kuat Ikhwanul Muslimin untuk menguasai institusi Al-Azhar. Hal
ini didorong keinginan kuat mereka untuk menguasai keanggotaan dalam
Dewan Ulama Senior, agar memudahkan mereka untuk mengeluarkan dan
membuat undang-undang. “Ikhwanul Muslimin dan Salafi berlomba-lomba
untuk menduduki keanggotaan Dewan Ulama Senior agar dapat leluasa untuk
mengeluarkan undang-undang,” jelas Abdul Ghafar.
Senada dengan hal itu, Hasan Nafi’ah dosen ilmu politik
mengatakan: “Partai-partai Islam, baik itu Ikhwanul Muslimin maupun
Jamaah Islamiyah (Salafi) sangat menyadari akan urgensi institusi
Al-Azhar, karena Al-Azhar merupakan institusi penting untuk menjelaskan
agama Islam yang benar, dan memiliki pengaruh politik yang sangat kuat.
Oleh karena itu, mereka sangat ingin menguasainya. Bukti paling konkrit
akan hal itu adalah pernyataan Yasir Burhami Wakil Ketua Pusat Jamaah
Salafi terkait Majelis Konstitusi dan berbagai sikap yang ditunjukkan
oleh pihak IM maupun Salafi, semakin menegaskan bahwa mereka sangat
ingin untuk menguasai Al-Azhar.”
Hasan Nafi’ah menegaskan bahwa institusi Al-Azhar tidak
akan pernah dapat dijatuhkan, kecuali dalam satu kondisi. “Ikhwanul
Muslimin tidak akan mampu menjatuhkan Al-Azhar, kecuali jika mereka
memiliki kader di kalangan masyayikh Al-Azhar. Dengan demikian, mereka
dapat meminta bantuan kepada mereka untuk menghancurkan atau mengubah
ideologi institusi Al-Azhar dari dalam. Jika itu dapat mereka lakukan,
maka mereka akan dapat menempatkan orang-orangnya di anggota Dewan Ulama
Senior,” ujar Hasan.
Praktisi hukum Muhammad Zari’ ketua Organisasi Perbaikan
Hukum Pidana Arab, menegaskan bahwa perseteruan antara Al-Azhar dengan
Ikhwanul Muslimin dan Salafi terjadi karena Al-Azhar tidak menyetujui
semua keinginan IM dan Presiden Morsi. “Sikap terakhir Al-Azhar terkait
obligasi syariah, sudah pasti akan memicu perang yang lebih sengit ke
depannya. Tragedi keracunan sebagian mahasiswa juga merupakan kejadian
yang sangat aneh, karena terjadi di tempat khusus, dilakukan dengan cara
yang aneh, dan terbatas pada 500 orang dari 5000 orang yang ada,” tegas
Muhammad Zari’.
Muhammad Zari’ menegaskan bahwa sikap Presiden Morsi
terkait tragedi keracunan di asrama Al-Azhar sangat berbeda dengan
sikapnya di kejadian-kejadian yang serupa. Misalnya, sikapnya atas
tragedi keracunan sebagian mahasiswa Alexandria pada bulan kemarin, atau
tahanan Saudi Arabia dan orang-orang yang ditangkap di Emirat karena
dituduh melakukan gerakan sparatis. Perbedaan sikap itu karena mereka
semua adalah orang-orang Ikhwanul Muslimin. Hal ini memberi indikasi
bahwa pemerintah hanya akan mengambil sikap yang sesuai dengan tujuan
dan rencana presiden. Demikian juga, rencana IM untuk ‘ikhwanisasi’ atau
menguasai seluruh institusi negara semakin menegaskan bahwa IM sangat
ingin menguasai Al-Azhar, karena posisi Al-Azhar sangat urgen di ranah
politik. (ym7/ imm).
