Cerita Akhir Hayat Rasulullah SAW

blogger templates

SUATU HARI PADA DZIKIR PANJANGMU 1381 TAHUN LAMPAU |

"Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasihnya. Maka taati dan bertakwalah kepadanya,” Rasulullah Kanjeng Nabi Muhammad Shallahullahu Allaihi Wassallam pagi itu suaranya bergetar.
Angin bulan Rabiul’awal di tahun 632, serasa menggeletar. Menyusuri ruang dan waktu.
Muhammad, kekasih Allah itu memandangi para sahabatnya satu-persatu. Angin seolah berhenti. Senyap. “Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati ia mencintaiku. Dan kelak, orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersamaku,...”
Bagai sembilu, kutbah pendek itu mengiris-iris kalbu. Seseorang berbisik, nyaris tiada suara, “Rasulullah akan meninggalkan kita,...”
Rasulullah menebar pandangannya. Satu persatu.
Abu Bakar menatap mata itu berkaca-kaca. Umar turun-naik dadanya, menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang, menyusuri jarinya menekuri lantai. Sementara Ali menundukkan kepalanya. Dalam-dalam.
Isyarat itu telah datang. Isyarat itu telah datang. Saatnya sudah tiba.
Ali dan Fadhal, tiba-tiba bangkit dari duduknya. Mereka sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.
Detik demi detik berlalu. Begitu menegangkan. Lesi.
Semuanya seolah ingin menghentikan waktu. Semuanya seolah ingin menghentikan angin, udara, dan segala.
Namun matahari terus beranjak. Kian tinggi. Tak teraba dan terkatakan, apa yang ada pada relung-relung para lelaki yang menunggui itu. Pintu rumah Rasulullah masih tertutup.Di dalamnya, Rasulullah terbaring lemah. Keningnya berkeringat membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidur.
“Boleh saya masuk?” tiba-tiba dari luar pintu, terdengar seorang berseru mengucap salam.
Fatimah yang menunggui ayahandanya, tak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,..."
Fatimah membalikkan badan. Menutup pintu.
“Siapakah, wahai, anakku?” ayahnya ternyata sudah membuka mata, melihat Fatimah yang datang menemaninya kembali. "Siapakah dia, wahai, anakku?”
“Entahlah. Tak tahulah, ayahku. Sepertinya baru kali ini melihatnya,” tutur Fatimah lembut.
Rasulullah menatap puterinya. Pandangan yang menggetarkan. Seolah bagian demi bagian wajah anaknya itu, hendak dikenangnya dalam-dalam. Nun jauh di lubuk hatinya yang begitu dekat.
“Anakku, ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara. Dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,...” Rasulullah mengangkat tangannya, hendak menggapai tangan puterinya itu.
Dada Fatimah terasa sesak. Langit seolah runtuh. Betapa menyesakkan, Fatimah menahan ledakan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri. Mereka bersitatap.
Tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut serta. Jibril pun dipanggillah, yang sebelumnya bersiap di atas langit dunia, menyambut ruh kekasih Allah itu.
“Jibril, wahai, jelaskanlah padaku, apa hakku nanti di hadapan Allah?” Rasululllah bertanya. Suaranya makin terdengar lemah.
“Pintu-pintu langit telah terbuka. Para malaikat menanti rohmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,...” berkata Jibril.
Namun, itu itu semua ternyata tak membuat Rasulullah tenang. Matanya masih penuh kecemasan.
“Sepertinya engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Jibril bertanya kembali.
“Kabarkan kepadaku, bagaimana nasib umatku kelak?”
“Jangan khawatir, wahai, Rasul Allah. Aku mendengar firman Allah: Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,..."
Detik demi detik, seolah merayap berdetak-detuk. Semakin dekat, semakin dekat. Langit-langit kamar seolah meruap. Bias cahaya menggeremang dalam rindu suasa.
Seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh. Urat-urat lehernya menegang, meregang.
Fatimah tak berkedip. Dadanya seolah dihantam palu godam.
"Ya, Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini,...." perlahan Rasulullah mengaduh.
Fatimah terpejam.
Ali yang berada di sampingnya, merunduk, makin dalam.
Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah kau melihatku,” tiba-tiba Muhammad berkata lirih pada Jibril, “Engkau palingkan wajahmu Jibril?”
Jibril terdiam. Tercekat lidahnya. Tenggorokannya mengering.
Sebentar kemudian, sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh. Sakit yang tak tertahankan.
“Ya, Allah. Dahsyatnya maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku. Jangan pada umatku,...”
Tubuh Rasulullah mulai dingin. Kaki dan dadanya, tak bergerak lagi.
Bibirnya masih bergetar, seolah hendak membisikkan sesuatu. Ali mendekatkan telinganya.
“Peliharalah shalat, peliharalah orang-orang lemah di antaramu,...” bisik kekasih Allah itu. Suara menggeletar.
Di luar, suara tangis seolah meledak, bersahutan. Mereka saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya.
Ali kembali mendekatkan telinganya, ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
Bibir itu seolah berdzikir, “Umatku, umatku, umatku,...!”
Cahaya maha cahaya, bergeriap dalam sayap-sayap gemerlap. Hari itu, pada Senin 6 Juni di tahun 632, seorang lelaki yang lahir di Mekah 26 April 570, telah menghadap khaliknya. Di dalam dzikir panjangnya yang tak berkesudahan, “Umatku, umatku, umatku,...”