TOKOH TASAWUF SUNNI
Tasawuf
Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan
Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya,
mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca
keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab
kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”,
perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an
dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan
qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini
terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum
sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat
antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang
jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa
menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf
ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak.
Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan
setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan
Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri
as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini
yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan
abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau
konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh.
Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal
jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek).
Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi
praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum
menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti
toreqoh yang terjadi sekarang ini.
1. Junaid Al-Baghdadi
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz
al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan
keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia
meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang
luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam
jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi
fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab
imam Syafi`i.
Dikatakan
bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang
mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara
mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul
al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di
Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada
pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan
al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh
pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada
kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil
dimuka umum.
Al-Junaid
dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas
tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak
diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain
sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan
Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna,
meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan
diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid
juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati
dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh
Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada
ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA.
55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid
menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan
yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping
al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia
juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
Dialah
Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima
hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya
adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn
Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Sedikit
sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya.
Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat
usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan
diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa,
Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju
Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya,
kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan
karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan
masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu.
Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas
penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur
merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai
macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana.
Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh
Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan
panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada
peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari
matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari
Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf.
Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari
ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas
Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu
memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari
sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin,
hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq
untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan
ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah
merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini,
lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said
Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath
Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping
berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama
lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412
H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga
belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460
H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain,
seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq
Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun
belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab
Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy
banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai
doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary
(w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau
Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam
bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama
Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan
Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia
juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah,
Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah
mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek,
karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr
Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri
Perburuan
terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya
Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M),
kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik
Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar
Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan
Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah)
menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang
mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul
(penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat
barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi
pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia
menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang
memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983)
Dari
sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia,
selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau
tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang
sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan,
penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena
dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf.
Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika
itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan
yang menimpa dunia Tasawuf kala itu
Imam
Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang
berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau,
seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab
Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf,
Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi
Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir.
Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai
pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin
as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut
Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi
Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun.
Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi
padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu
sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut
mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani
memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
3. Al-Harawi
Nama
lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau
lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis
Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan
karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh
sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas
doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas
gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal
dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin.
Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan
tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi
tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya;
”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak
dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya
bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya
tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta
keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam
kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan
kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan
ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam
ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang
aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat
ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian
yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang
menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas
tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang
menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari
Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan
lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak
mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan
bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan,
sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu
akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang
menyesatkan tersebut.
Kemudian
yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada
batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di
sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba.
Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada
kalbu seorang nabi atau wali.
Berbicara
masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf
itu sendiri. Tokoh-tokoh tasawuf itu bermacam-macam, ada yang ajarannya
tentang mahabbah (Rabiatul Adawiyah), Ma'rifah (Ghazali), dan lain-lain.
Adapun yang akan kita bicarakan pada makalah ini adalah tokoh tasawuf yang bernama Abu Yazid Al-Bustami dengan ajarannya fana dan baqa' serta ittihad..
Sebagai
penyebar dan pembawa ajaran ittihad, fana dan baqa' dalam tasawuf
adalah Abu Yazid al-Bustami yang dilahirkan di Bistam (Persia) pada
tahun 874 M dan meninggal dalam usia 73 tahun.
Ittihad
sebagai ajaran tasawuf beliau mempunyai arti bahwa tingkatan tasawuf
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad
merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu. Kemudian salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu
lagi dengan perkataan : Hai Aku.
Fana
artinya hilang, hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan
proses menghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan
Tuhan. Baqa' artinya tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat pengiring proses fana dalam proses untuk mencapai ma'rifah.
RIWAYAT HIDUP ABU YAZID AL-BUSTAMI
Nama
lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin 'Isa bin Surusyan al-Bustami,
lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 – 947 M. nama kecilnya adalah
Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut
agama Zoroaster, kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam.
Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih
hidup sederhana.
Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai
kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan
memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang
diragukan kehalalannya.
Sewaktu
meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan
seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada
orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat
Luqman yang berbunyi : "Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu". Ayat
ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar
dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia
selalu berusaha memenuhis etiap panggilan Allah.
Perjalanan
Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun.
Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu
menjadi seorang fakih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang
terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu
hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu
Yazid tidak ditemukan dalam buku.
Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara digurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yangsedikit sekali.
POKOK-POKOK AJARAN TASAWUFNYA
1. Fana dan Baqa'
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana' dan baqa'. Dari segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya
diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini abu bakar
Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M) mendefinisikannya : "hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan
manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan
sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan
ketika berbuat sesuatu.
Pencapaian Abu Yazid ketahap fana' dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah.
Perjalanan
Abu Yazid dalam menempuh fana itu sebagaimana dijelaskan : "Permulan
adanya aku di dalam Wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya
dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya daripada daimunah. (Tetap dan
kekal). Maka senantiasalah aku terbang di dalam udara kaifiat sepuluh
tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa 100 juga kali.
Maka senantiasalah aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal.
Maka kelihatanlah ! olehku pohon ahdiyat" (lalu beliau terangkan apa
yang dilihatnya pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya dan
lain-lainnya.
Akhirnya beliau berkata : "Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya : sama sekali itu hanyalah tipuan khayalan belaka".
Kata-kata yang demikian dinamai oleh syatahat, artinya kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum.
Pada
suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Tuhan dan bertanya kepada-Nya;
Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu ? Tuhan menjawab:
"Tinggalkanlah dirimu dan datanglah". Peninggalan Abu Yazid adalah
menghilangkan kesadaran akan dirinya dan alam sekitarnya untuk
dikonsentrasikan kepada Tuhan. Proses ini disebut juga dengan at-Tajrid atau al-fana' bittauhid.
Ucapan-ucapan
Abu Yazid yang menggambarkan bahwa ia telah mencapai al-fana' antara
lain : "Aku kenal pada Tuhan melalui diriku sehingga aku hancur
(fanait(u), kemudian aku kienal pada-Nya melalui diri-Nya maka aku hidup
(hayait(u).
Kehancuran (fana') dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma'rifat) terhadap Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid.
Adapun baqa' berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa' tidak dapat dipisahkan dengan paham fana' karena
keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang
mengalami fana', ketika itu juga ia sedang menjalani baqa'.
2. Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa'. Hanya
saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak
ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini
sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk
dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana nyatak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.
Al Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa' untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya
dalam ungkapan "pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu
Ia berkata: "Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku
menjawab: "Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu
kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku
dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka
akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat,
dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.
Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut :
"Tuhan
berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku
pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah
Engkau.
Terputus
munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata
kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia
berkata, "Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia
berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku."
Dalam
ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia
tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata
demikian.
Suatu
ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid
bertanya, "Siapa yang engkau cari ?" Orang itu menjawab. "Abu Yazid".
Abu Yazid berkata, "Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah
Yang Mahakuasa dan Mahatinggi.
Ucapan-ucapan
Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan
bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang
ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.
