Adalah
perjalanan karir Aisyah Mukhtar, nama asli Machica Mukhtar, yang
mempertemukannya dengan Moerdiono, pejabat penting di lingkar keuasaan
orde lama saat itu. Pertemuan yang kemudian berlanjut menjadi hubungan
asmara dan berujung dengan pernikahan yang dilakukan secara siri pada 20
Desember 1993.
Pernikahan
tersebut kemudian mulai bermasalah ketika Moerdiono menolak mengakui
anak yang lahir dari rahim Machicha sebagai anak kandungnya dengan
berbagai alasan. Penolakan tersebut yang kemudian membuat sang Ibu
memperjuangkan pengakuan hukum terhadap status anaknya ke Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Beliau juga mengajukan permohonan
akan hal yang sama kepada Pengadilan Agama Islam Tigaraksa pada tahun
2005 yang kemudian memutuskan untuk menolak permohonan tersebut.
Penolakan
tersebut membuatnya mengajukan permohonan judical review kepada
Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No: 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43
ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak.
Dan
gayung pun bersambut. MK memandang bahwa negara harus memberikan
kepastian dan perlindungan hukum kepada seorang anak, terlepas ada atau
tidaknya ikatan perkawinan yang mendahuluinya. Dan berkaitan dengan
perlindungan tersebut, MK memandang kehamilan yang pada awalnya
merupakan sebuah realitas alamiah merupakan sebuah hubungan hukum yang
mengandung kewajiban hukum yang bertimbal balik antara anak, ibu, dan
ayah sebagai subyek hukumnya. Ditambah lagi, dengan kemajuan teknologi
dan pengetahuan medis saat ini, fakta akan hubungan darah antara orang
tua biologis dan anaknya serta pembuktian hubungan tersebut dengan hasil
yang dapat dipertanggungjawabkan menjadi sesuatu yang amat mungkin di
laksanakan. Sehingga, pasal 43 dalam bentuk yang ada dalam UU no: 1,
1974 tersebut dipandang oleh MK sebagai penghalang bagi seorang anak
untuk mendapatkan apa yang seharusnya dia dapatkan.
Oleh
karena itu, MK mengabulkan sebagian permohonan Machica dengan menyatakan
bahwa pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 tidak memliki kekuatan hukum yang
mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata anak tersebut
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan/bukti
lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Menurut MK, pasal 43 ayat (1) tersebut seharusnya dibaca sebagai
berikut: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Putusan
ini memberikan pengukuhan dan pengakuan hukum akan adanya hubungan
perdata antara seorang anak dengan ayah biologisnya, terlepas apakah dia
lahir dari sebuah hubungan perkawinan yang sah, lengkap syarat dan
rukunnya menurut keyakinan, baik tercatat ataupun tidak. Hubungan
perdata ini dapat mencakup: (1) hubungan nasab; (2) hubungan mahram; (3)
hubungan hak dan kewajiban; (4) hubungan pewarisan; (5) hubungan wali
nikah antara ayah dan anak perempuannya (A. Mukti Arto, hlm.6). Dan
dengan demikian memberikan jaminan akan hak untuk hidup, hak untuk
beribadah menurut agamanya, berekspresi dan berkreasi sesuai tingkatan
usianya dalam bimbingan orang tua; hak untuk mendapatkan perlindungan
dari diskriminasi dan berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi; hak
untuk mengetahui asal usulnya dan hak untuk diasuh oleh orang tuanya.
Akan
tetapi, karena putusan tersebut secara otomatis memasukkan anak yang
terlahir dari hubungan seksual tanpa didahului oleh ikatan perkawinan
yang sah, alias anak zina, maka muncul gesekan dengan keyakinan dan
aliran mayoritas dalam hukum Islam yang menafikan penisbatan nasab
kepada anak zina. Berbagai elemen umat Islam bereaksi keras karena
mengasumsikan akibat hukum tersebut dapat menurunkan efek jera bagi para
pelaku perzinahan dan mengikis kesakralan lembaga perkawinan yang oleh
syariat dimasukkan sebagai salah satu dari lima pilar utama tujuan
syariat: penjagaan terhadap hak reproduksi (hifdz nasl). Disamping itu,
dikhawatirkan putusan ini juga menghilangkan atau menurunkan atau
mengurangi hak perdata anak yang terlahir dari hubungan perkawinan yang
sah, khususnya berkaitan dengan hak pewarisan.
Dengan
demikian, apa yang diputuskan MK harus dipandang sebagai pelaksanaan
fungsi MK sebagai lembaga negara dengan kewenangan menjaga hak
konstitusional warga negara Indonesia sesuai dengan UUD 1945 dan juga
sebagai pengadil terhadap persengketaan antara UU yang ada dengan UUD
1945. Maka, dalam kasus anak luar kawin, fokus utama MK adalah anak yang
dalam pandangannya merupakan warga negara Indonesia dengan hak
konstitusional yang sama dengan warga lainnya dan tidak terkait atau
berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan kedua orang tua
biologisnya.
Walaupun
demikian, persinggungan putusan tersebut dengan wilayah keyakinan,
dalam hal ini nasab anak zina dalam syariat Islam, memerlukan pengkajian
lebih jauh untuk melihat efek yang ditimbulkan olehnya, baik terhadap
perlindungan dan kepastian hukum atas hak dan hubungan perdata anak yang
lahir dari perkawinan yang sah. Semoga kajian lebih dalam terhadap
putusan ini dapat meredakan ketegangan yang timbul dan menjadi jalan
tengah serta memberikan manfaat terbaik bagi semua pihak yang terkait
atau berkaitan dengannya.
Sumber:
1. Risalah Sidang Putusan Perkara MK No: 46/PUU-VIII/2010
2. A.
Mukti Arto, Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi R.I. No:
46/PUU-VIII/2010 …Tentang Pengubahan Pasal 43 UUP Tentang Hubungan
Perdatan Anak Dengan Ayah Biologisnya, disampaikan pada diskusi hukum
hakim PTA Ambon dan PA Ambon bersama Pejabat Kepaniteraan pada tanggal
16 Maret 2012 di Auditorium PTA Ambon.
3. www.Detik.com
**Artikel ini ditulis untuk keperluan Majalah Penghulu, medio 2011