Anak adalah amanat bagi orang tua, hatinya yang suci bagaikan mutiara yang bagus dan bersih dari setiap kotoran dan goresan.[1]
Anak merupakan anugerah dan amanah dari Allah kepada manusia yang
menjadi orang tuanya. Oleh karena itu orang tua dan masyarakat
bertanggungjawab penuh agar supaya anak dapat tumbuh dan berkembang
manjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat,
bangsa, negara dan agamanya sesuai dengan tujuan dan kehendak Tuhan.
Pertumbuhan
dan perkembangan anak dijiwani dan diisi oleh pendidikan yang dialami
dalam hidupnya, baik dalam keluarga, masyarakat dan sekolahnya. Karena
manusia menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya ditempuh melalui
pendidikan, maka pendidikan anak sejak awal kehidupannya, menempati
posisi kunci dalam mewujudkan cita-cita “menjadi manusia yang berguna”.
Dalam
Islam, eksistensi anak melahirkan adanya hubungan vertikal dengan Allah
Penciptanya, dan hubungan horizontal dengan orang tua dan masyarakatnya
yang bertanggungjawab untuk mendidiknya menjadi manusia yang taat
beragama. Walaupun fitrah kejadian manusia baik melalui pendidikan yang
benar dan pembinaan manusia yang jahat dan buruk, karena salah asuhan,
tidak berpendidikan dan tanpa norma-norma agama Islam.
Anak sebagai amanah dari Allah, membentuk 3 dimensi hubungan, dengan orang tua sebagai sentralnya. Pertama, hubungan kedua orang tuanya dengan Allah yang dilatarbelakangi adanya anak. Kedua, hubungan anak (yang masih memerlukan banyak bimbingan) dengan Allah melalui orang tuanya. Ketiga, hubungan anak dengan kedua orang tuanya di bawah bimbingan dan tuntunan dari Allah.[2]
Dalam
mengemban amanat dari Allah yang mulia ini, berupa anak yang fitrah
beragama tauhidnya harus dibina dan dikembangkan, maka orang tua harus
menjadikan agama Islam, sebagai dasar untuk pembinaan dan pendidikan
anak, agar menjadi manusia yang bertaqwa dan selalu hidup di jalan yang
diridhoi oleh Allah SWT., dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun juga
keadaannya, pribadinya sebagai manusia yang taat beragama tidak berubah
dan tidak mudah goyah.
Mendidik
anak-anak menjadi manusia yang taat beragama Islam ini, pada hakekatnya
adalah untuk melestarikan fitrah yang ada dalam setiap diri pribadi
manusia, yaitu beragama tauhid, agama Islam.
Seorang
anak itu mempunyai “dwi potensi”yaitu bisa menjadi baik dan buruk. Oleh
karena itu orang tua wajib membimbing, membina dan mendidik anaknya
berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Allah dalam agama-Nya, agama Islam
agar anak-anaknya dapat berhubungan dan beribadah kepada Allah dengan
baik dan benar. Oleh karena itu anak harus mendapat asuhan, bimbingan
dan pendidikan yang baik, dan benar agar dapat menjadi remaja, manusia
dewasa dan orang tua yang beragama dan selalu hidup agamis. Sehingga
dengan demikian, anak sebagai penerus generasi dan cita-cita orang
tuanya, dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat memenuhi
harapan orang tuanya dan sesuai dengan kehendak Allah.[3]
Kehidupan
keluarga yang tenteram, bahagia, dan harmonis baik bagi orang yang
beriman, maupun orang kafir, merupakan suatu kebutuhan mutlak. Setiap
orang yang menginjakkan kakinya dalam berumah tangga pasti dituntut
untuk dapat menjalankan bahtera keluarga itu dengan baik. Kehidupan
keluarga sebagaimana diungkap di atas, merupakan masalah besar yang
tidak bisa dianggap sepele dalam mewujudkannya. Apabila orang tua gagal
dalam memerankan dan memfungsikan peran dan fungsi keduanya dengan baik
dalam membina hubungan masing-masing pihak maupun dalam memelihara,
mengasuh dan mendidik anak yang semula jadi dambaan keluarga, perhiasan
dunia, akan terbalik menjadi bumerang dalam keluarga, fitnah dan siksaan
dari Allah.
Oleh
karena itu dalam kaitannya dengan pemeliharaan dan pengasuhan anak ini,
ajaran Islam yang tertulis dalam al-Qur’an, Hadits, maupun hasil
ijtihad para ulama (intelektual Islam) telah menjelaskannya secara
rinci, baik mengenai pola pengasuhan anak pra kelahiran anak, maupun
pasca kelahirannya. Allah SWT memandang bahwa anak merupakan perhiasaan
dunia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 46;
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيوةِ الدُّنْيَا ج وَالْبقِيتُ الصّلِحتُ خَيْرٌ عِنْدَ رِبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلاً. {الكهف: 46}
“Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan”.[4] (QS. al-Khafi: 46)
Dalam ayat lain Allah berfirman;
يآيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا قُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا…{ التّحريم : 6 }.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ….[5] (QS. at-Tahrim: 6)
Dengan
demikian mendidik dan membina anak beragam Islam adalah merupakan suatu
cara yang dikehendaki oleh Allah agar anak-anak kita dapat terjaga dari
siksa neraka. Cara menjaga diri dari apa neraka adalah dengan jalan
taat mengerjakan perintah-perintah Allah.
Sehubungan dengan itu maka pola pengasuhan anak yang tertuang dalam Islam itu dimulai dari:[6]
1. Pembinaan pribadi calon suami-istri, melalui penghormatannya kepada kedua orang tuanya
2. Memilih dan menentukan pasangan hidup yang sederajat (kafa’ah).[7]
3. Melaksanakan pernikahan sebagaimana diajarkan oleh ajaran Islam
4. Berwudlu dan berdo’a pada saat akan melakukan hubungan sebadan antara suami dan istri
5. Menjaga, memelihara dan mendidik bayi (janin) yang ada dalam kandungan ibunya.
6. Membacakan dan memperdengarkan adzan di telinga kanan, dan iqamat ditelinga kiri bayi
7. Mentahnik anak yang baru dilahirkan. Tahnik artinya
meletakkan bagian dari kurma dan menggosok rongga mulut anak yang baru
dilahirkan dengannya, yaitu dengan cara meletakkan sebagian dari kurma
yang telah dipapah hingga lumat pada jari-jari lalu memasukkannya ke
mulut anak yang baru dilahirkan itu. Selanjutnya digerak-gerakkan ke
arah kiri dan kanan secara lembut. Adapun hikmah dilakukannya tahnik antara lain; pertama,
untuk memperkuat otot-otot rongga mulut dengan gerakan-gerakan lidah
dan langit-langit serta kedua rahangnya agar siap menyusui dan menghisap
ASI dengan kuat dan alamiah, kedua, mengikuti sunnah Rasul. [8]
8. Menyusui anak dengan air susu ibu dari usia 0 bulan sampai usia 24 bulan
9. Pemberian nama yang baik.
Oleh
karena itu pada setiap muslim, pemberian jaminan bahwa setiap anak
dalam keluarga akan mendapatkan asuhan yang baik, adil, merata dan
bijaksana, merupakan suatu kewajiban bagi kedua orang tua. Lantaran jika
asuhan terhadap anak-anak tersebut sekali saja kita abaikan, maka
niscaya mereka akan menjadi rusak. Minimal tidak akan tumbuh dan
berkembang secara sempurna.[9]
[1] Imam Ahmad al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), hlm. 130.
[2] Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam Pada Anak, (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 5.
[3] Ibid. hlm. 5.
[4] Muhammad Noor, dkk., Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya , (Semarang: CV. Toha Putra, 1996), hlm. 238.
[5] Ibid., hlm. 448.
[6] A. Tafsir, dkk., op. cit., hlm. 132-148.
[7]
Maksud kafa’ah disini adalah calon suami, sebanding dengan calon
istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan
sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Lihat dalam Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (terj.) Moh. Thalib, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), hlm. 36.
[8] Abdullah Nasikh Ulwan, Tarbiyatul al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Salam, 1981), hlm. 75.