Penyakit was was

blogger templates

Alhamdulillaah wash shalaatu was salaamu ‘alaa Rasuulillaah, wa ba’d:
Perang tidak akan pernah usai. Musuh bebuyutan manusia tidak pernah putus asa dalam menjebak dan menggelincirkan anak cucu Adam. Berbagai macam perangkap dan ranjau direkayasa. Jika yang satu gagal, maka digunakanlah jebakan yang lain. Jika tidak berhasil menggoda manusia lewat pintu syahwat, maka syaithan pun masuk melalui pintu syubhat. Cara syaithan dalam menjerumuskan manusia bervariasi. Semakin tinggi kadar iman dan tingkat keilmuan seseorang, semakin besar pula upaya syaithan untuk menyesatkannya.
Diceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang suka bermaksiat melihat dalam mimpi seseorang yang mengaku dirinya syaithan. Dia melihat syaithan itu membawa 3 helai tali; kecil, sedang, dan besar. Lalu dia pun bertanya, “Untuk apa tali-tali itu?” Syaithan menjelaskan, “Adapun yang kecil, ini untuk menjerat ahli ibadah. Yang sedang untuk para penuntut ilmu. Adapun yang besar, itu khusus untuk menjagal para ulama.” Spontan setelah mendengarkan demikian, lelaki itu pun tersenyum gembira sambil berkata, “Kalau begitu saya bebas dari gangguanmu.” Syaithan pun menimpali, “Kalau kamu dan orang-orang sepertimu, tidak butuh tali. Cukup dengan satu siulan saja, kamu akan mengikutiku.”
Kisah ini mengingatkan kita akan firman Allah :
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (QS. 17:64)
Definisi was-was
Kata was-was secara bahasa artinya adalah suara yang halus yang dihasilkan dari udara yang bergerak. (Lisanul ‘Arab, 6/254, Al Maktabah Asy Syaamilah)
Secara istilah was-was adalah segala perkataan yang muncul di dalam hati, baik berasal dari hati itu sendiri maupun yang dibisikkan oleh syaithan.(Aafatul Mu’min: Al Wasaawis, hal.13)
Was-was yang berasal dari hati itu sendiri, dalilnya firman Allah:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,” (QS. 50:16)
Sedangkan was-was yang merupakan bisikan syaithan lebih umum dan lebih banyak dalilnya. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ
“Maka syaithan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaithan berkata:”Rabb kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)”. (QS. 7:20)
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى
“Kemudian syaithan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata :”Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon kekekalan dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (QS. 20:120)
Bahkan kata “was-was” itu sendiri merupakan nama lain dari syaithan. Dalilnya:
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
“dari kejahatan syaithan yang biasa bersembunyi,” (QS. 114:4)
Al Fairuz Aabaadi berkata, “Al Waswas adalah syaithan.” (Al Qaamuus Al Muhiith, hal. 748, Cet.II, Muassasah Ar Risaalah)
Sasaran/Target utama was-was
Orang-orang kafir seperti Yahudi dan Nasrani mengklaim kalau mereka tidak pernah merasa was-was. Klaim mereka seperti ini bisa dibenarkan. Sebab hati mereka telah rusak. Sehingga tidak perlu dirusak lagi.
Al Imam An Nawawi berkata, “Was-was itu menyerang orang-orang yang beriman saja. Sesungguhnya seorang pencuri tidak menjadikan rumah yang rusak sebagai sasaran operasinya.” (Al Adzkar, hal. 129, Al Maktabah Asy Syaamilah)
Di antara penyebab was-was
1. Jahil dalam beragama.
Ibnul Jauzi berkata, “Ketahuilah bahwa pintu utama masuknya syaithan ke dalam jiwa manusia adalah kebodohan. Syaithan menggoda orang-orang yang jahil dengan sangat mudah. Namun orang-orang yang berilmu, syaithan tidak dapat masuk begitu saja, kecuali dengan cara mencuri kesempatan. Syaithan telah berhasil menggelincirkan para ahli ibadah karena minimnya ilmu. Sebab mereka sibuk dalam ibadah dan tidak memperdalam ilmu.” (Talbis Iblis, hal. 165, Al Maktabah Asy Syaamilah).
Was-was terkadang datang tanpa diundang. Bukan hanya orang biasa yang diserang, para ulama pun tak luput dari serangan. Namun mereka dengan ilmunya mampu menangkis dan menyerang balik musuh. Berbeda halnya dengan orang kebanyakan yang jika terserang was-was, malah mengikuti dan menta’ati was-was tersebut. Dengan ilmu itulah seseorang dapat memerangi was-was bilamana ia datang. Hal ini pernah terjadi pada diri Al Imam Ahmad bin Hanbal.
Syeikh Muhammad Asy Syaayi’ berkata, “Suatu ketika Al Imam Ahmad sedang berwudhu’. Syaithan wudhu’ (Al Walahaan) membisikkan, “Kamu belum membasuh kedua tanganmu.” Al Imam berkata, “Kamu bohong!” sambil mengisyaratkan dua jari tangannya sebagai saksi bahwa Al Imam telah membasuh tangannya.” (Aafatul Mu’min, hal. 31)
2. Sedikit mengingat Allah.
Hati ibarat sebuah rumah yang harus dilindungi dari serangan musuh. Seorang mukmin harus membentengi hatinya dengan dzikrullah. Tidak ada perisai yang lebih ampuh untuk menahan gempuran syaithan daripada dzikrullah. Hati yang kering dan kosong dari dzikrullah merupakan sasaran yang empuk bagi syaithan untuk melancarkan serangannya.
3. Kurang akal.
Ibnul Jauzi berkata, “Sebagian syeikh bercerita kepadaku kisah aneh tapi nyata. Seorang laki-laki mendatangi Ibnu ‘Aqiil. Dia berkata, “Saya membasuh salah satu anggota wudhu’, namun hati saya mengatakan, “Kamu belum membasuhnya.” Saya mengucapkan takbiratul ihram, namun hati saya berkata, “Kamu belum bertakbir.” Ibnu ‘Aqiil berkata kepadanya, “Kalau begitu, kamu tidak perlu shalat lagi. Karena shalat tidak wajib atas kamu.” Orang-orang di sekitarnya pada keheranan kemudian bertanya kepada Ibnu ‘Aqiil, “Bagaimana Anda bisa mengatakan demikian?” Ibnu ‘Aqiil menjawab, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kewajiban itu tidak dibebankan atas orang gila sampai dia sembuh/normal. Barangsiapa yang bertakbir, lalu dia berkata, “Aku belum bertakbir”, maka bukan orang yang berakal. Dan orang gila tidak wajib shalat.” (Talbis Iblis, hal.169, Al Maktabah Asy Syaamilah)
abu yazid nurdin