Nurhayati Ali Assegaf Rela Tunda Sunatan Anak Demi SBY

blogger templates

Nurhayati Ali Assegaf

Rela Tunda Sunatan Anak Demi SBY

Nurhayati Ali Assegaf (Foto: Runi/Okezone)
Nurhayati Ali Assegaf (Foto: News)
JAKARTA - Sebelum menjadi Ketua Fraksi Partai Demokrat, nama Nurhayati Ali Assegaf tidak cukup dikenal publik. Nurhayati yang mengawali kariernya sebagai seorang pengusaha dan pegiat sosial ini bergabung dengan partai bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2003.

Berikut petikan hasil wawancara Okezone dengan Nurhayati saat ditemui di ruangannya yang terletak di lantai 9 Gedung Nusantara I komplek DPR RI, beberapa waktu lalu.

Darah politik mengalir dari almarhum ayahnya, Ali Assegaf (yang lebih akrab dipanggil Ali Murni). Selain sebagai pejuang di era awal kemerdekaan, ayah perempuan yang selalu mengenakan jilbab ini juga tercatat sebagai pengusaha mobil dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), serta selalu aktif dalam segala kegiatan sosial pada masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia.

"Pada tahun itu, pertama yang mengimpor mobil Impala di Indonesia itu ayah saya. Kalau Pak Karno ke Solo itu mobil Impala-nya dipinjamkan. Kita tahu ayah saya itu berpolitik, nasionalis," kata Nurhayati.

Saat beranjak dewasa, perempuan kelahiran Solo tahun 1963 ini kemudian bertempat tinggal dan menetap di Malang, Jawa Timur, saat memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA). Minat organisasi Nurhayati semakin besar saat anak 11 dari 15 bersaudara ini tercatat sebagai mahasiswi kedokteran Universitas Brawijaya Malang, yang kemudian juga aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Dari situlah Nurhayati mulai banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan berbagai kegiatan sosial dan berorganisasi. Karena telah terbiasa dengan aktivitas berorganisasi, selama mengikuti suami di Amerika, Nurhayati juga tetap melanjutkan aktivitas organisasinya tersebut.

Hal ini terbukti dengan keberhasilan pengagum Margaret Thatcher dan Maria Bush ini saat menjabat sebagai Ketua Parlemen Perempuan Dunia yang berkantor pusat di Jenewa, Swiss, dengan 162 anggota, selama dua periode berturut-turut, yakni 2010-2012 dan 2012-2014.

Prestasi tersebut, menurutnya, merupakan wujud impian untuk membuktikan bahwa perempuan juga bisa memiliki peran di dalam dunia sosial dan politik. "Saya terpilih dan mengalahkan yang sudah 12 tahun di sana, calon dari Afrika. Saya terpilih pada saat kondisi saya tidak hadir dan delegasi tidak ada yang hadir di acara itu," kenang Nurhayati.

Nurhayati juga berulang kali memimpin sidang di forum yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), sempat menjadi pembicara dalam International Olimpyc Comite, yakni organisasi yang menentukan tempat diselenggarakannya olimpiade, dan pembicara utama di forum ILO. Namun, Nurhayati tidak kecewa bila tidak banyak media yang mengetahui prestasinya di luar negeri tersebut, karena menurutnya popularitas bukanlah sesuatu yang ia kejar.

Selain itu, ibu dari empat orang anak ini juga sempat aktif di dalam dunia jurnalistik. Kegusaran akan minimnya peran perempuan dalam dunia politik di Indonesia mendorong Nurhayati untuk membuat program acara yang berjudul Sudut Pandang Perempuan yang tayang di stasiun televisi nasional, TVRI selama kurun waktu 2008-2009.

Menurut sudut pandang Nurhayati, perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Hanya saja, di Indonesia perempuan kurang diberi kesempatan untuk menunjukkan eksistensinya di dalam kegiatan sosial, politik, atau kenegaraan. Namun Nurhayati memaklumi hal itu, kurangnya peran perempuan, sambung Nurhayati, hanyalah masalah cara berfikir saja.

"Sekarang bagaimana kita mau menghilangkan dikotomi itu. Mudah-mudahan dengan adanya ketua fraksi perempuan pemikiran bahwa politisi itu laki-laki sedikit berkurang," harapnya.

Tahun 2003 merupakan awal dari kegiatan Nurhayati di kancah politik nasional. Setelah sempat ditawari untuk bergabung dengan sejumlah partai politik di Indonesia, akhirnya Nurhayati menetapkan pilihannya untuk bergabung dengan Partai Demokrat, sebagai public relation, dan kemudian menjabat sebagai staf khusus ibu negara, Ani Yudhoyono sejak 2004-2009.

"Waktu memilih partai bukan partai yang kanan atau kiri, tetapi partai tengah, nasionalis religius. Itulah perpaduan dari seorang ayah yang Marhaenis dengan kegiatan saya (HMI). Itulah yang membuat pilihan saya jatuh pada Partai Demokrat," ungkapnya saat ditanya apa alasan bergabung dengan Partai Demokrat.

Kedekatan dengan Ibu Negara membuat Nurhayati sangat mengagumi sosok Ani Yudhoyono. Bahkan Nurhayati mengaku bahwa dirinya bisa seperti sekarang ini adalah berkat dari bimbingan Ani Yudhoyono.

"Saya memang jadi staf Bu Ani, pembantu beliau dalam menyiapkan pidato, artinya juru ketik-lah. Ibu Ani idola saya, saya kagum dengan beliau. Jujur Ibu Ani yang menjadi inspirasi saya," tegasnya.

Selama menjadi public relation, Nurhayati termasuk orang yang memiliki totalitas tinggi terhadap partai. Dia selalu mengikuti kemanapun SBY dan Ani pergi untuk melaksanakan kampanye menjelang Pemilu Presiden pada 2004 lalu. Bahkan, Nurhayati sempat menunda-nunda untuk meng-khitan-kan anaknya sampai SBY berhasil menjadi presiden.

"Sampai anak saya mau sunat saja nunggu SBY menang dulu. Waktu sunatan anak saya SBY dateng lho. Sampai anak saya bilang, mam, emang saya sunatnya harus nunggu SBY jadi presiden," ungkapnya.

Saat hendak maju sebagai anggota DPR RI, Nurhayati mengaku bahwa dirinya hanya bersedia menjadi anggota DPR jika melalui daerah pemilihan (dapil) Malang Raya. Hal ini dikarenakan, selain memang tumbuh dan besar di Malang, Nurhayati sangat sedih melihat masyarakat terutama di Kabupaten Malang yang masih banyak hidup jauh dari kata sejahtera. Dengan menjadi anggota dewan, dia berharap mampu membawa kebijakan yang ia perjuangkan ke Malang untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat di sana.

Diakui Nurhayati, dirinya sama sekali tidak pernah memiliki ambisi untuk menjadi seorang ketua fraksi. Apalagi, sangat jarang publik yang mengenal jauh seperti apa sosok Nurhayati. Namun Nurhayati sadar risiko apa yang akan diterima sebagai seorang ketua fraksi partai terbesar di parlemen.

Terlebih, masing-masing kader Partai Demokrat yang duduk di Senayan memiliki karakter yang berbeda-beda dan terkadang secara tidak langsung dapat merugikan citra partai di mata publik. Terkait hal ini, Nurhayati berupaya untuk menjadi seorang dirijen yang baik, di mana dengan memaksimalkan peran dan kinerjanya mampu membuat keberagaman menjadi suatu kesatuan yang unggul.

"Saya tidak memaksa orang untuk kemudian berubah. Tapi mengajak semuanya untuk berlatih bersama, sehingga di kala saya sebagai dirijen suara ini seirama," paparnya.

Setelah eksis di dalam politik nasional, Nurhayati menyadari banyaknya kejanggalan yang muncul di dalam negara yang plural ini. Dia mengaku sangat sedih saat melihat isu toleransi dengan membawa embel-embel SARA dijadikan sebagai alat untuk memunculkan berbagai konflik di Indonesia. Apalagi bila isu-isu tersebut dikaitkan dengan sukses atau tidaknya kinerja pemerintah. Menurutnya, hal itu sangat jauh dari cita-cita demokrasi.

Untuk itu, Nurhayati mengajak seluruh masyarakat Indonesia saling menghormati antar suku, agama, ras, dan golongan masing-masing yang menjadi kekayaan Indonesia.

"Biarlah surga itu kita yang punya, dan kita ciptakan surga itu bersama. Demokrasi yang saya yakini membuat Indonesia lebih baik adalah demokrasi yang melindungi minoritas dan menghargai mayoritas," tuturnya.