Kisah Penari Istana Mencari Keadilan

blogger templates


 Nona Nani (Foto: Isnaini)
JAKARTA - "Saya tidak pernah menyangka, panggilan menari itu mendatangkan petaka" ujar Nani sambil tersenyum. Ada luka dibalik senyum yang dikembangkan, ia berusaha tegar namun tak dapat dipungkiri sesekali terlihat genangan air di pelupuk matanya.

Terlahir dengan nama Nani Soemarni, namun lebih dikenal dengan Nona Nani Nurani, wanita berusia 72 tahun itu merupakan mantan penari istana di era Presiden Soekarno. Nani lahir dalam lingkungan seni, ayahnya yang merupakan tokoh kebudayaan seni khas Cianjur itu mendidiknya dengan keras. Kala itu, Nani yang masih belia hanya sekedar mengenal kebudayaan seni yang digeluti keluarganya secara turun temurun, tanpa berniat mempelajari lebih dalam.

Di tahun 1950-an dimana perempuan Indonesia masih sulit untuk mendapatkan pendidikan, dengan penuh perjuangan dan pertentangan dari pemikiran kolot, Nani berhasil lulus dari SMP.

Tekad Nani untuk terus bersekolah ke jenjang selanjutnya didukung kakak kandungnya, meski sempat ditentang sang ayah yang menganggap 'perempuan hanya pantas di dapur', Nani berangkat ke Jakarta untuk meneruskan pendidikannya. Namun keinginan Nani untuk bersekolah tak semulus yang dipikirkan, kakaknya yang menjanjikan akan menyekolahkannya terhimpit masalah ekonomi.

"Tadinya mau disekolahkan kakak di Jakarta, tapi kakak saya bangkrut, akhirnya di Jakarta saya tidak sekolah, malah ngantri minyak tanah, ngantri beras, tapi niat untuk sekolah tetap ada, beruntung kakak saya yang satunya menikah dan memiliki keuangan yang cukup, lumayan ikut hidup sama dia, jadi tidak perlu ngantri-ngantri minyak lagi. Walaupun saya cuma disuruh kursus-kursus saja, kursus Bahasa Inggris, kursus mengetik, ya gitu lah, bukan sekolah," kenang wanita asal Cianjur itu saat berbincang dengan Okezone di kediamannya, di kawasan Plumpang, Jakarta Utara, Minggu (21/4/2013) malam.

Tahun 1960, sang ayah meminta Nani untuk kembali ke kampung halaman, di sana lah Nani mulai belajar gamelan dan tari budaya sunda untuk mengisi waktu luangnya. Keseriusan serta darah seni yang mengalir didalam tubuhnya membuat Nani cepat mahir menguasai tari tersebut. Tak heran dalam waktu singkat, kepandaiannya menari melebihi para senior-seniornya dan membuatnya ditunjuk sebagai pegawai negeri bidang kebudayaan oleh Bupati Cianjur.

3 Februari 1962, Permintaan sang Bupati untuk mengisi acara peresmian acara kebudayaan pun disanggupi Nani, dan untuk pertama kalinya Nani bernyanyi dan menari di depan umum.

"Saat itu lagu pertama saya Nelengnengkung, lagu tentang menimang bayi. Dari situ ayah saya berpesan, setiap langkah harus punya tanggung jawab, sekali sudah terjun kesalah satu bidang, harus digeluti secara mendalam, jangan jadi manusia tanggung," ungkap Nani mengenang pesan ayahnya.

Debutnya sukses, banyak tawaran menyanyi dan menari datang, berawal dari situ, Nani mulai masuk ke Istana Presiden Cipanas Bogor. Bersama 30 penari lainnya yang kenal dengan nama 'Anak Istana', mereka menjadi penghibur tamu agung presiden.

Undangan Itu Datang.

2 Mei 1965, sebuah undangan menari diterima Nani. Undangan yang merubah semua kehidupannya. Nani diminta mengisi acara dalam perayaan HUT Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Juni mendatang, tentu saja saat itu peristiwa G 30 S PKI belum terjadi. Undangan tersebut disanggupi Nani.

"Waktu itu PKI partai yang wajar-wajar saja, belum ada G 30 S PKI, jadi wajar saja saya menyanggupi acara itu, toh hanya sebatas perayaan HUT yang dihadiri banyak tokoh penting saat itu," ujar Nani sembari menyeruput air rebusan daun saga yang biasa diminumnya untuk menjaga kesehatan tenggorokannya.

Usai mengisi acara tersebut, Nani memutuskan tinggal di Jakarta atas permintaan kakaknya. Nani tinggal besama dengan kakak perempuannya di sebuah rumah di bilangan Menteng Jakarta Pusat.

Saat peristiwa G 30 S PKI, nama Nani mulai dikait-kaitkan. Nani dituduh terlibat dalam peristiwa berdarah itu. Kepergian Nani ke Jakarta usai menari dalam HUT PKI pun dijadikan kambing hitam. 2 Oktober 1965 rumah keluarganya di Cianjur digrebek Corps Polisi Militer (CPM). Namun saat itu CPM tidak berhasil menangkap Nani, karena Nani berada di Jakarta.

"Saat itu pemberitaan miring mengenai 'anak istana' merebak di Cianjur. Semuanya dikait-kaitkan, dibilang saya ke Jakarta untuk lubang buaya lah," ucapnya.

Tiga tahun berselang, 23 Desember 1968 saat dirinya kembali kampung halaman untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri. Saat tengah terlelap, Nani ditangkap. Dengan menodongkan senjata laras panjang oleh Letnan R yono, Nani dibawa untuk diperiksa.

"Disitu saya minta ayah mendampingi saya, saya seperti buronan kelas kakap yang berhasil ditangkap, disitu ibunda saya memeluk saya, namun beliau berusaha tidak menangis, beliau mencoba tegar," ungkapnya getir.

Hampir satu bulan lamanya, Nani ditahan dan diintrogasi prihal keterkaitannya dengan PKI di CPM Cianjur. Ia memang tidak mendapat siksaan fisik, namun Nani mendapat siksaan mental. Persis disebelah ruang tidurnya, dengan hanya bersekat triplek seadanya ia menyaksikan penyiksaan para tahanan PKI.

29 Januari 1969, Nani dimasukan ke Rutan Wanita Bukit Duri, Jakarta Selatan. Tanpa proses persidangan tanpa pembelaan, diusianya ke 27 tahun, Nani harus menjalani tujuh tahun masa tahanan. Diruangan 2 x 2 meter Nani menghabiskan hari-harinya dengan menyulam dan memperkuat ibadah.
  Habis Gelap Terbitlah Terang

19 November 1975, Nani dinyatakan berstatus tahanan rumah, dan diwajibkan lapor di CPM Guntur. Hingga pada 29 Maret 1976, Nani dinyatakan bebas penuh. Namun kebebasan yang dimaksud tidak seindah yang dipikirkan Nani. Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya diberi stigma, yang membuatnya berbeda dengan orang bebas lainnya. Itu pula yang membuat Nani memutuskan tidak menikah.

Padahal, hingga usia senja, kecantikan Nani tak pudar, wajahnya masih terlihat segar tergambar kecantikan yang alami. Kulitnya kencang, tidak seperti nenek-nenek seumurnya yang telah memiliki kulit keriput. Bisa dibayangkan bagaimana kecantikannya saat muda dulu.

"Saya keluar penjara di usia 34 tahun, mau nikah sama siapa, umur sudah telat, dan saya tidak mau kalau nanti ada berantem sama suami, dikait-kaitkan bekas tahanan PKI, itu terlalu menyakitkan," papar wanita yang hingga kini masih aktif dalam bidang seni budaya khas Jawa barat itu.

1997 tanda Ex Tapol hilang dari KTPnya, untuk pertama kalinya Nani pergi keluar negeri dan baru menikmati kebebasan. Ketika era reformasi, Nani mulai bergerak menuntut hak-haknya yang selama ini telah direbut paksa oleh bangsanya sendiri.

Dibantu dengan Komnas HAM dan LBH, Nani mulai bergerak, tuntutan KTP seumur hidupnya untuk usianya yang telah senja sulit sekali ia dapatkan, harus memakan waktu yang tidak sebentar yakni lima tahun. Namun keadilan berpihak padananya, dalam sidang di PTUN, Nani dinyatakan menang dan berhak memperoleh KTP seumur hidupnya itu.

"Saya sudah tidak dapat menangis lagi, walaupun saya sangat bahagia dan terharu," katanya sembari tersenyum memamerkan deretan gigi yang putih dan terawat itu.

Nani tidak puas sampai disitu, gugatan kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun ia layangkan, Nani mengugat SBY sebesar Rp7,46 miliar. Angka yang setara dengan kerugian materil dimana kebebasan dan haknya diambil di masa kelam dulu. Nani juga menuntut Presiden untuk meminta maaf dan membersihkan namanya atas nama bangsa Indonesia. Namun, gugatan kepada orang nomor satu di Indonesia itu tidaklah mudah. Setelah menjalani rangkaian sidang, gugatan Nani ditolak.

Hingga kini, Nani masih terus mencari keadilan, upaya kasasi pun ia coba tempuh untuk membersihkan nama baiknya. Nani masih mencari seberkas cahaya dari kelamnya perjalanan hidup yang telah dilaluinya.

"Saya tidak akan berhenti sampai saya mendapat keadilan, saya mau mati dengan nama baik saya," tegasnya.

"Hidup adalah perjuangan dan pengabdian, tanpa batas harta, tahta dan usia," kata Nani mengakhiri pembicaraan.