Kampanye, Ruhut Manfaatkan Pesta Nikah hingga Acara Kematian

blogger templates


Ruhut Sitompul (Foto: Runi S/Okezone) Ruhut Sitompul (Foto: Ghanie News)
JAKARTA - Politikus senior Partai Demokrat Ruhut Sitompul, membantah jika ingin menjadi anggota dewan harus mengeluarkan uang hingga puluhan miliar rupiah.

Ruhut menceritakan ketika dirinya maju sebagai caleg di Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Utara di Pemilu 2009 lalu, hanya mengeluarkan Rp400 juta. "Aku kemarin caleg paling ringan enggak sampai Rp400 juta," ujar Ruhut di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (22/2/2013).

Ruhut menjelaskan, alasan dirinya bisa minim mengeluarkan anggaran kampanye lantaran dia terbantu sebagai public figure yang sudah banyak dikenal masyarakat, sehingga tak perlu mengeluarkan biaya banyak, namun masyarakat sudah senang dan memilih dirinya.

"Dulu aku tinggal teriak ‘si Poltak Raja Minyak mau kampanye’, mereka pada datang sendiri," cerita Ruhut.

Selain itu, untuk meminimalisir pengeluarkan biaya kampanye, Ruhut rajin datang ke pernikahan warga di Dapilnya, begitu juga saat ada warga yang meninggal dunia. Dengan cara itu, dia bisa kampanye gratis.

"Aku lain dari yang lain. Aku rajin keliling ke tiap pesta kawinan, kematian. Kebetulan aku orang terkenal jadi mereka pada tahu. Saya calon DPR, ini dapil saya, ada yang duka saya bela sungkawa. Kegiatan sosial juga aku datangi, enggak banyak aku kasih (uang) ke mereka. Kalau datangi tokoh-tokoh malah kita jadi ATM mereka," katanya.

Selain itu, trik Ruhut lainnya agar minim mengeluarkan anggaran yaitu dengan mengajak caleg tingkat kabupaten/kota sesama partai untuk berkampanye bersama. "Kalau caleg DPRD banyak uang, aku sebut namanya dalam kampanye, aku juga bisa kampanye gratis, jadi saling take and give," ucap Ruhut.

Dalam kampanye caleg, lanjut Ruhut, biaya yang paling besar yaitu untuk pengerahan massa, anggaran itu lebih besar jika dibandingkan dengan biaya baliho atau spanduk.

"Sebagai caleg biaya mahal itu pengerahan massa dibanding baliho dan lain-lain. Apapun tidak bisa menghindari money politic. Mengerahkan massa emang mau kalau enggak dikasih uang? Satu kepala Rp50 ribu atau Rp100 ribu. Kalau pemilih mau membuat kita tenang minimal kasih Rp50 ribu, coba kalian hitung berapa miliar itu," tuturnya.

Untuk posisi aman, sambung Ruhut, caleg harus memiliki suara sebanyak 50.000 di dapilnya. Angka tersebut dinilai Ruhut aman. Oleh karenanya, Ruhut tidak kaget melihat kawan-kawannya sesama caleg kelimpungan lantaran harus mengeluarkan uang banyak agar mendapatkan posisi aman.

"Jadi kawan-kawan aku rata-rata kaya gitu, makanya mereka keblinger saat itu, karena suara selamat kalau dipilih 50.000. Ada yang 20.000 tapi belum aman. Kalau mau enak duduk itu 50.000 suara. Bagi public figure, ulama, artis, tokoh, kalau di-manage dengan baik bisa meminimalisir uang kampanye," tuturnya.

Setelah biaya pengerahan massa, lanjut Ruhut, anggaran akan keluar banyak untuk spanduk dan baliho. Namun, untuk itu partainya memberikan bantuan kepada para calegnya.

"Paling mahal pengerahan massa, biaya kedua spanduk dan baliho, baru setelah itu transportasi dan akomodasi, dan tim sukses. Untuk Demokrat kaos, baliho dibantu partai," katanya. Menurut Ruhut, untuk menjadi caleg saat ini minimal memiliki anggaran Rp2 miliar hingga Rp3 miliar.

Apakah gaji di DPR bisa mengembalikan uang yang telah dikeluarkan ketika kampanye? Ruhut mengatakan gaji DPR tidak bisa menggantikan biaya kampanye. Pasalnya, tiap bulan gaji bersih sebagai anggota dewan hanya Rp30 juta. Setahun memperoleh Rp360 juta, dan lima tahun memperoleh Rp1,8 miliar.

"Rugi 200 juta kan? Kalau minimal biaya kampanye Rp2 miliar. Belum gaji dipotong untuk setoran ke partai, otomatis tiap bulan Rp5 juta, bayar staf, belum tiap hari ada yang minta sumbangan ini dan itu," kata Ruhut.

Oleh karenanya, Ruhut mengatakan bahwa menjadi anggota DPR adalah pengabdian, bukan untuk mencari keuntungan. "Kalau enggak gitu, kecewa nanti. Kalau lurus-lurus saja, ya enggak akan balik modal," tuturnya.

Ruhut khawatir dengan adanya caleg yang memilih berutang terlebih dahulu untuk biaya modal kampanye, hal itu yang membuat banyak anggota dewan terjerat hukum KPK karena terlibat kasus korupsi.

"Ya biasanya mereka cara balikin uang dengan jadi Banggar (Badan Anggaran). Last minute mereka (anggota DPR) sudah tahu cara cari uangnya bagaimana," tuturnya.